Dihadapan Civitas Akademika Universitas Parahyangan, Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pancasila Sebagai Dasar Negara
JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara memiliki pijakan legalitas yang kuat. Baik dalam Konstitusi maupun rumusan Pasal 2 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
“Namun perlu dikaji lebih mendalam, apakah status Pancasila tersebut telah ter-manifestasi secara nyata, atau hanya bersifat simbolis. Mengingat masih ada tantangan besar memastikan segala peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” ujar Bamsoet dalam Kuliah Umum ‘Pancasila Sebagai Sumber Pembentukan dan Penegakan Hukum’, di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, di Jakarta, Jumat (22/1/21).
Turut hadir antara lain Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang, Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Iuris Liona N. Supriatna, Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Herry Susilowati dan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Katolik Parahyangan Ivan Petrus Sadik.
Ketua DPR RI ke-20 ini merujuk data rekapitulasi perkara pengujian undang-undang yang terregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK) selama kurun waktu tahun 2003-2021, terdapat 1.430 perkara diajukan ke MK dengan melibatkan 719 undang-undang yang diuji. Dari jumlah tersebut, MK membuat 1.392 putusan, sebanyak 267 gugatan dikabulkan.
“Dari banyaknya gugatan judicial review dan dengan adanya gugatan yang dikabulkan, menunjukkan masih ada peraturan perundang-undangan yang materinya bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila. Karena pada hakikatnya, segala norma hukum yang diatur dalam konstitusi adalah bersumber dari, dan dijiwai oleh Pancasila,” tandas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menilai, bangsa Indonesia perlu menegaskan kembali kedudukan Pancasila sebagai rujukan utama yang memiliki daya ikat terhadap segala jenis peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, asas hierarki hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah) harus ditegakkan.
“Selain sebagai sumber pembentukan hukum, Pancasila juga harus menjadi sumber penegakan hukum. Hal ini dimaknai bahwa nilai-nilai Pancasila harus menjiwai dan tercermin dalam seluruh proses penegakan hukum, dari hulu hingga ke hilir. Proses penegakan hukum tidak boleh abai terhadap nilai etika dan nilai moral, dan juga tidak merusak citra dan integritas penegak hukum,” tutur Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menekankan, Pancasila juga harus menjadi rujukan yang sama bagi setiap institusi penegak hukum. Sehinggga segala putusan hukum yang dilahirkan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara horisontal kepada nilai-nilai dan harkat kemanusiaan serta hukum itu sendiri, maupun secara vertikal kepada Tuhan. Harus disadari bahwa berbagai persoalan yang muncul dalam bidang penegakan hukum, seperti praktik korupsi dan kolusi dalam proses peradilan serta keberadaan mafia hukum, adalah muara dari absen-nya implementasi nilai-nilai Pancasila.
“Merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari periode 2004-2020, tercatat ada 22 hakim, 10 jaksa, 2 polisi, dan 12 pengacara, yang terjerat kasus korupsi. Sebagai data pembanding, Komisi Yudisial (KY) pada tahun 2019 menerima 1.544 pengaduan masyarakat dan 891 surat tembusan surat tentang laporan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Selanjutnya pada periode 2 Januari-31 Mei 2020, KY telah menerima 562 laporan pengaduan,” urai Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menambahkan, Pancasila juga harus dijadikan sumber nilai dalam pembangunan karakter dan wawasan kebangsaan, yang harus menjadi proses berkesinambungan, tidak berhenti pada satu titik pencapaian. Selain itu juga harus mendapatkan dukungan dan partisipasi dari segenap pemangku kepentingan, khususnya pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara.
“Kita dapat mengambil pelajaran berharga dari peristiwa di Amerika Serikat. Sebagai negara panutan demokrasi yang telah mempelopori pendidikan multikulturalisme sejak tahun 1960-an, AS sukses menjadi role model bagi negara-negara yang berupaya membangun pondasi demokrasi dalam bingkai pluralisme. Namun bangunan demokrasi yang telah lama dibangun tersebut luluh lantak akibat retorika, sikap, dan kebijakan Presiden Trump yang cenderung provokatif, memicu lahirnya rasisme dan xeno-phobia, serta menyebabkan polarisasi,” terang Bamsoet.
Dewan Pakar KAHMI ini menjelaskan, pemikiran dan sikap korosif yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu lalu terlanjur mengisi ruang-ruang publik, menggerus nilai-nilai kebangsaan dan mencederai nilai-nilai demokrasi. Hingga mencapai titik kulminasi pada aksi anarkis pendukung Trump di Gedung Kongres yang menyebabkan 4 korban tewas.
“Ini adalah gambaran nyata, betapa penting peran dan tanggungjawab penyelenggara kekuasaan negara dalam membentuk karakter bangsa yang dipimpinnya. Bangsa Indonesia patut bersyukur, ditengah kerasnya persaingan Pilpres 2019 kemarin, tak sampai meluluhlantakkan ikatan batin kebangsaan. Karena para pemimpin bangsa masih mengamalkan Pancasila, mengutamakan kepentingan bangsa diatas segalanya,” pungkas Bamsoet. (*)