JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan pentingnya rekonsiliasi kultural dalam merekatkan relasi Sunda-Jawa sekaligus memutus sejarah kelam yang diakibatkan peristiwa perang di Bubat. Sebagaimana disampaikan Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, ‘Kidung Sunda’ dan ‘Kidung Sundayana’ diperkirakan ditulis pada abad ke-16 yang yang didalamnya menceritakan peristiwa perang di Bubat pada abad ke-14. Jarak penulisan dengan peristiwa terpaut dua ratus tahun, sehingga patut diduga terdapat distorsi dan deviasi fakta sejarah.
Selain itu, ternyata juga ditemukan fakta baru bahwa kedua kidung tersebut mulai dikenal publik melalui disertasi Prof. Dr. CC. Berg yang ditulis di tahun 1927-1928. Namun dalam disertasinya tersebut, Prof. Dr. CC. Berg tidak menjelaskan dari mana sumber naskah asli ‘Kidung Sunda’ dan ‘Kidung sundayana’. Terlebih dari 50 prasasti Majapahit dan 30 prasasti Sunda Galuh, tidak ada satupun yang menyebutkan peristiwa perang di Bubat.
“Sehingga patut diduga disertasi Prof. Dr. CC. Berg yang memuat ‘Kidung Sunda’ dan ‘Kidung Sundayana’ tersebut memiliki motif memecah belah dua suku etnis terbesar bangsa Indonesia, Sunda dengan Jawa. Mengingat di tahun 1928 ada peristiwa Sumpah Pemuda, intelijen Belanda bisa jadi sudah mencium adanya peristiwa Sumpah Pemuda ini dari jauh-jauh hari, sehingga tidak heran jika mereka memecah belah suku bangsa sebagai bagian dari devide et impera (politik pecah belah),” ujar Bamsoet dalam Webinar Series Ksatriavinaya di Bubat (Kewajiban Ksatria di Bubat) yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan Rumah Studi Jawa Makaradhwaja Yogyakarta, secara virtual dari Jakarta, Kamis (26/8/21).
Turut serta antara lain Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Dian Lakshmi Pratiwi, Guru Besar Universitas Muhammdiyah Yogyakarta Theria Wasim, Filolog Jawa Kuna dan Sansekerta Universitas Gajah Mada Manu J Widyaseputra serta seniman Rangga Jalu Pamungkas.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, sangat penting bagi seluruh generasi bangsa bersikap kritis dalam memaknai setiap teks sejarah. Sehingga tidak terkunci oleh sejarah masa lalu yang belum terbukti kebenarannya. Terlebih yang sarat dengan nuansa memecah belah dan tanpa sumber yang jelas kepastiannya seperti terjadi dalam ‘Kidung Sunda’ dan ‘Kidung Sundayana’. Jikapun kedua kidung tersebut memang bisa dipastikan keasliannya, serta peristiwa di Bubat memang benar terjadi, generasi masa kini tidak perlu terpengaruh. Peristiwa masa lampau cukup dijadikan pelajaran untuk mengambil hikmah merajut persatuan di masa kini dan mendatang.
“Melalui webinar ini, kita telah membangun literasi kebudayaan. Khususnya dalam mengkaji dan menelusuri kembali peristiwa Bubat, demi menemukan ‘kebenaran’ dalam kerangka merajut semangat persatuan dan kesatuan bangsa, serta mereduksi perasaan saling membenci antar sesama anak bangsa yang disebabkan kurangnya kedalaman dan ketajaman analisa dalam membaca, memahami, serta memaknai berbagai rujukan dan fakta sejarah,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, membaca, menyimak dan memaknai fakta sejarah adalah proses yang berkesinambungan, tidak bersifat statis dan berhenti di satu terminal pemaknaan. Selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dinamis, akan selalu ada hal-hal baru yang menawarkan penyempurnaan dalam mengkaji sumber rujukan dan fakta sejarah.
“Pengumpulan kembali fakta sejarah tidak hanya selaras dengan semangat agar kita tidak pernah melupakan sejarah. Lebih dari itu, menghimpun kembali fakta sejarah adalah penting untuk meluruskan sejarah dan menempatkan sejarah pada proporsi yang sebenarnya. Tidak kalah penting adalah mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa sejarah untuk kepentingan bangsa dan negara,” pungkas Bamsoet. (*)