JAKARTA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai kehadiran financial technology (Fintech) sebagai sebuah inovasi yang lahir dari kemajuan teknologi informasi, selain dapat mendukung efisiensi perekonomian juga berpotensi menjadi sumber resiko yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Karena itu, perkembangan Fintech yang semakin menjamur perlu diawasi secara agresif oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Saat ini, dasar hukum penyelenggaraan Fintech dalam sistem pembayaran di Indonesia mengacu kepada berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh BI dan OJK. Kini sedang dikaji lebih mendalam perihal perlunya undang-undang mengenai Keuangan Digital (financial technology/Fintech) sebagaimana yang pernah disampaikan OJK. Jika memang dari sisi dunia usaha maupun BI dan OJK sebagai regulator memerlukan UU yang khusus mengatur tentang Fintech, DPR RI sangat terbuka menerima berbagai masukan,” ujar Bamsoet saat mengisi Seminar ‘Peran Teknologi Informasi Finansial dalam Mendorong Inklusi Keuangan di Indonesia’ yang diselenggarakan INDEF di Jakarta, Selasa (26/03/19).
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, berbagai peraturan tentang Fintech tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital dan Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.
Serta ada juga Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (peer to peer landing), Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, Peraturan OJK No.12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum dan Peraturan OJK No.37/POJK.04/2018 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas (equity crowdfunding).
Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini memastikan DPR RI selalu menekankan kepada BI dan OJK sebagai mitra kerja Komisi XI DPR RI agar mewaspadai berbagai perkembangan Fintech. Mengingat banyaknya aduan yang datang dari masyarakat kepada DPR RI perihal keberadaan Fintech yang justru bukan membantu, malah meresahkan masyarakat. Antara lain, pelanggaran hukum pengambilan informasi pribadi, penyebaran data pribadi, masalah bunga pinjaman serta munculnya Fintech illegal.
“Kita apresiasi Satgas Waspada Investasi bentukan OJK yang telah menghentikan lebih dari 200 Fintech ilegal. Dalam berbagai rapat kerja dengan OJK, DPR RI melalui Komisi XI selalu mengingatkan OJK untuk mengetatkan pengawasan. Bila perlu jangan hanya sekadar ditutup izin operasinya, melainkan ambil langkah hukum terhadap Fintech illegal sehingga membuat efek jera,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, dengan jumlah penduduk mencapai 265 juta jiwa, membuat potensi market Indonesia terhadap Fintech sangat besar sekali. Hasil riset Oliver Wyman, lembaga konsultan manajemen internasional, mencatat potensi pembiayaan Fintech di Indonesia mencapai USD 130 miliar.
Sebagian besar potensi itu ditargetkan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal ini tidak mengherankan, karena banyak individu yang bergelut di UMKM banyak melakukan transasksi dengan jumlah yang tidak terlalu besar, namun intensitasnya cukup tinggi.
“Kita tak ingin perkembangan teknologi informasi yang memudahkan transaksi pembayaran di masyarakat, khususnya bagi para pelaku UMKM, justru dimanfaatkan oleh Fintech illegal untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara kotor,” pungkas Bamsoet. (*)