Kuliah Umum Universitas Pertahanan Republik Indonesia
BOGOR – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak para sivitas akademika Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UNHAN) untuk berkontemplasi. Membuka memori kolektif kebangsaan, menghimpun kembali catatan sejarah perjuangan bangsa yang terserak di ruang-ruang perpustakaan sekolah dan kampus, yang kian hari kian terpinggirkan oleh modernitas zaman, dan terlupakan oleh dinamika peradaban.
“”Legasi sejarah yang diwariskan para pahlawan bukan sekedar hamparan tanah merdeka yang kaya akan sumber daya. Melainkan juga semangat perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa, yang dibangun oleh pondasi rasa cinta tanah air dan bangsa, dan disatukan oleh tekad dan komitmen kebangsaan yang solid,” ujar Bamsoet dalam sambutan pada acara Kuliah Umum Ketua Yayasan Pembela Tanah Air (YAPETA) Tinton Soeprapto, di UNHAN, Bogor, Rabu (17/11/21).
Turut hadir jajaran rektorat UNHAN, antara lain, Rektor Laksamana Madya TNI Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, para Wakil Rektor Mayjen TNI Jonni Mahroza, Mayjen TNI Lasmono, Laksda TNI Suhirwan, dan Tristan Soemardjono. Hadir pula Panglima TNI Periode 2010-2013 Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono dan anggota DPR RI Moreno Soeprapto.
Ketua DPR RI ke-20 ini mengapresiasi prakarsa UNHAN yang telah memberikan kesempatan kepada Ketua Yayasan Pembela Tanah Air (YAPETA) Tinton Soeprapto untuk memaparkan materi kuliah umum dengan tajuk ‘Sejarah Pendirian PETA dan Keterlibatannya pada Perjuangan Meraih Kemerdekaan Republik Indonesia’. Materi yang sangat penting untuk disimak, mengingat kedudukan dan peran strategis PETA, baik dalam kedudukannya sebagai cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), maupun dalam memaknai kembali kontribusi PETA sebagai pejuang perintis yang telah menghadirkan negara Indonesia Merdeka.
“Kita dapat merujuk pada lini masa sejarah yang mencatat transformasi PETA sebagai cikal bakal TNI. Diawali dengan lahirnya Tentara Keamanan Rakyat atau TKR pada 5 Oktober 1945, yang menempatkan para mantan anggota PETA sebagai personil inti TKR. Transformasi berlanjut pada 7 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat berganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dan berubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia pada 26 Januari 1946, hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia atau TNI pada 3 Juni 1947,” tutur Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, sejarah mencatat dari ‘rahim’ PETA terlahir banyak nama besar. Antara lain Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) Jenderal Besar TNI Sudirman, Presiden Republik Indonesia ke-2 Jenderal Besar TNI Soeharto, Panglima Angkatan Darat ke-6 Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani, hingga Wakil Presiden Republik Indonesia ke-4 Jenderal TNI Umar Wirahadikusuma.
“Memaknai peran PETA dalam sejarah perjuangan bangsa, bukan dimaksudkan untuk menenggelamkan diri pada romansa masa lalu. Melainkan lebih sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan atas kontribusi PETA sebagai pejuang perintis kemerdekaan, sebagai bagian dari dokumen sejarah yang tidak boleh dilupakan,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, sejarah adalah refleksi jati diri. Sejarah adalah gudang keilmuan yang penuh referensi sekaligus inspirasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai mengambil pembelajaran dari sejarah masa lalunya.
“Kita semua berharap, sejarah atau ‘history’ bukan menjadi narasi cerita dari dan oleh siapa yang berkuasa atau bahkan menjadi ‘his story’. Melainkan menjadi realitas faktual yang dapat dijadikan sebagai rujukan obyektif, dan referensi akademis yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan,” pungkas Bamsoet. (*)