JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan dalam pelaksanaan sila kelima Pancasila, industri asuransi telah memiliki berbagai produk asuransi. Antara lain, Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) yang memberikan perlindungan risiko gagal panen, telah berjalan sejak tahun 2015, dengan premi Rp 180 ribu dan disubsidi 80 persen oleh pemerintah. Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) yang memberikan perlindungan risiko atas kematian dan kehilangan sapi, telah berjalan sejak tahun 2016, dengan premi sejumlah Rp 200 ribu disubsidi 80 persen oleh pemerintah.
“Asuransi Perikanan Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) yang memberikan perlindungan risiko atas kematian udang/ikan dan kegagalan usaha karena bencana alam, telah berjalan sejak tahun 2017 diawali dengan udang, dengan premi Rp 90 ribu sampai dengan Rp 225 ribu per tahun sesuai lahan, disubsidi 100 persen oleh pemerintah. Serta Asuransi Nelayan yang memberikan perlindungan risiko atas kematian dan cacat nelayan saat di laut atau di darat, telah berjalan sejak tahun 2016, dengan premi Rp 140 ribu, dan disubsidi 100 persen oleh pemerintah,” ujar Bamsoet dalam Focus Group Discussion (FGD) ‘Booming dan Krisis Industri Asuransi dalam Perspektif UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila’, di Komplek Majelis, Rabu (8/9/21).
FGD yang diselenggarakan Brain Society Center (BS Center) bersama MPR RI ini turut dihadiri Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, dan Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah. Hadir pula para narasumber pembahas, antara lain Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Rizal E. Halim, Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika, Ketua Dewan Asuransi Indonesia Tatang Hidayat, Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya Angger P. Yuwono, dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi.
Ketua DPR RI ke-20 ini tidak menutup mata dibalik berbagai asuransi yang melindungi petani dan sektor produktif, masih juga terdapat asuransi bermasalah yang bukannya memberikan proteksi melainkan menambah beban hidup masyarakat akibat gagal bayar. Sebagaimana terjadi pada Jiwasraya, Kresna Life, Bumiputera, dan Himalaya Insurance.
“Berbagai kasus gagal bayar tersebut disebabkan lemahnya manajemen risiko dari proses bisnis sejak hulu sampai hilir. Berawal dari pengemasan produk dengan garansi hasil investasi di luar batas kemampuan pengelola aset dalam menghasilkan pengembalian investasi, dan berujung pada pengelolaan aset investasi. Pada prinsipnya, perusahaan asuransi belum optimal melaksanakan pedoman pengelolaan aset dan kewajiban yang menjadi unsur fundamental dalam perusahaan asuransi,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, merujuk berbagai kasus gagal bayar asuransi, perlu dilakukan restrukturisasi dan reformasi industri perasuransian. Restrukturisasi akan menekan pamor dan kepercayaan masyarakat terhadap industri dalam jangka pendek.
“Perlu ada tekad melakukan reformasi perasuransian seperti dicanangkan Presiden saat membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan awal 2020 yang ditindaklanjuti OJK, yaitu meliputi reformasi pengaturan dan pengawasan, reformasi institusional, reformasi infrastruktur dan penyiapan RUU Lembaga Penjamin Polis. Sudah saatnya perusahaan asuransi kembali ke khittahnya dalam ikut serta memajukan kesejahteraan umum dan memberikan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi,” tandas Bamsoet.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim menerangkan, berbagai pokok permasalahan terkait industri asuransi. Antara lain, kesalahan pembentukan harga produk atau mispricing, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, adanya rekayasa harga saham lewat masifnya jual beli saham dengan dressing reksadana, serta tekanan likuiditas dari produk asuransi yang kemudian berdampak terhadap penurunan kepercayaan nasabah yang menyebabkan merosotnya penjualan.
“BPKN telah mengeluarkan rekomendasi terkait asuransi tahun 2020. Antara lain, Indonesia perlu mempercepat pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP) demi menjalankan amanat UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai langkah untuk melindungi pemegang polis dan memastikan industri perasuransian berjalan dengan sehat. Perlu segera membuat peraturan turunan yang mengatur persyaratan agen asuransi yang bersertifikat serta memiliki kredibilitas secara jelas dan sistematis dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Serta membuat pedoman bagi perusahaan asuransi untuk melengkapi perjanjian asuransi dengan ringkasan perjanjian tentang manfaat dan risiko agar mudah dipahami konsumen,” terang Rizal Halim.
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengingatkan, mengambil pelajaran dari kasus Jiwasraya, beberapa masalah mendasar yang potensial terjadi pada perusahaan asuransi terdiri dari kesalahan pricing produk, aktivitas investasi yang rentan, manipulasi kinerja perusahaan dengan aggressive window dressing, dan tekanan likuiditas akibat mismatch. Portofolio Manajemen yang buruk juga menyebabkan risiko kerugian yang sangat besar akibat penempatan pada aset-aset yang berisiko tinggi. Kerugian yang sangat besar juga terjadi akibat fraud dan tata kelola yang tidak baik. Ketegasan institusi pengawas untuk melakukan tindakan koreksi juga tidak berjalan optimal.
“Pelaku usaha industri asuransi, pada tahun 2021 ini industri asuransi juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Krisis Covid-19 menyebabkan bisnis asuransi tertekan karena penurunan pendapatan masyarakat. Menyebabkan daya beli masyarakat untuk membeli asuransi semakin menurun,” tandas Anis Byarwati. (*)