Bamsoet: PPHN Penting Untuk Mewujudkan NKRI yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur
JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan perlu ada pemikiran dan kekuatan alternatif untuk mengingatkan dan menunjukan peta jalan pembangunan yang lebih dapat diandalkan. Jalan pembangunan yang lebih menjamin ketahanan nasional dengan kesanggupan untuk merealisasikan visi dan misi negara berdasarkan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Visi negara sebagaimana tertuang pada alinea kedua pembukaan Konstitusi adalah terwujudnya perikehidupan kebangsaan ‘yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’. Adapun misi negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat adalah ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Cita-cita mewujudkan visi-misi negara yang bersifat prinsipil tersebut, harus diterjemahkan dalam rujukan haluan negara, yang idealnya menjadi wewenang seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, dan direpresentasikan melalui lembaga perwakilan. Dalam konsepsi ini, MPR adalah lembaga perwakilan terlengkap, yang mewakili representasi rakyat (DPR) dan representasi teritorial (DPD). Inilah yang melatar belakangi MPR periode 2009-2014 dan MPR periode 2014-2019 merekomendasikan dibentuknya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN),” ujar Bamsoet dalam ‘Kongres Kebangsaan: Ikhtiar Memperadabkan Bangsa’, di Gedung Nusantara IV MPR RI, Jakarta, Kamis (28/10/21).
‘Kongres Kebangsaan: Ikhtiar Memperadabkan Bangsa’, diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia. Didukung Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), serta Media KOMPAS.
Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI, antara lain Syarif Hasan, Arsul Sani, dan Hidayat Nur Wahid (virtual). Hadir pula Ketua Kelompok DPD RI Tamsil Linrung, Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Ir. Panut Mulyono, Ketua Umum AIPI Dr. Alfitra Salam, Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Rektor Universitas Hasanuddin Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu, Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Ma’mun Murod, serta para pendiri dan tokoh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) antara lain Abdul Latief, Jan Darmadi, dan Maher Algadri.
Ketua DPR RI ke-20 dan Mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum & Keamanan DPR RI ini menegaskan, dalam pembahasan PPHN, kurang bijaksana jika hanya mendasarkan pada sikap politik setuju atau tidak setuju, yang kemudian dicari berbagai alasan afirmatif untuk mendukung sikap tersebut. Kiranya layak diperhatikan bahwa negara Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara bukan hanya dilakukan secara fragmentaris, melainkan secara terencana dengan matang dan terintegrasi antar berbagai wilayah di Indonesia.
“PPHN dalam konteks saat ini tidak hanya penting, namun mendesak dan harus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan nasional yang selaras dan konsisten dengan paradigma Pancasila, serta berkesinambungan dan berkelanjutan secara lintas periode pemerintahan. PPHN mengarahkan pengelolaan pembangunan nasional, mewujudkan cita-cita nasional, yaitu membangun negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945,” jelas Bamsoet.
Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menerangkan, pembangunan pada hakekatnya merupakan usaha berkelanjutan dalam pemajuan mutu peradaban dengan cara meningkatkan kualitas hidup, dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional, yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, berlandaskan Pancasila. Hakikat pembangunan tergambar dalam pesan moral lagu kebangsaan Indonesia Raya ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’. Pembangunan bukan hanya pertumbuhan material, tetapi juga perkembangan kejiwaan. Bukan hanya infrastruktur ‘keras’ (sarana fisik), tapi juga infrastruktur lunak (keadaban, pendidikan, kesehatan).
“Aktivitas pembangunan bukan sekadar ‘pembangunan di Indonesia’, yang pelakunya bisa saja bukan orang Indonesia atau tidak berjiwa Indonesia, dengan hasil pembangunan yang dapat menyingkirkan dan mengasingkan bangsa sendiri. Yang harus lebih giat kita kembangkan adalah ‘pembangunan Indonesia’. Pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia melalui pengolahan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya Indonesia dengan sepenuh jiwa raga Indonesia,” terang Pontjo Sutowo.
Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif menekankan, jangan sampai setiap rezim berganti, segalanya dimulai dari distract. Karenanya harus ada kontinuitas dari pembangunan. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 saja, harus menghabiskan masa waktu pembangunan antara 75 hingga 100 tahun. Tanpa perencanaan jangka panjang berkelanjutan melampaui tiga rezim pada waktu itu, tidak mungkin saat ini bangsa Indonesia bisa menyaksikan peradaban luhur seperti Borobudur.
“Oleh karena itu, tata kelola menjadi fokus perhatian yang harus dibenahi para penyelenggara negara. Didukung BUMN, BUMD, koperasi serta dunia usaha yang bergotong royong memajukan kemakmuran bangsa. Dengan cara itu, kita bisa membentuk jalan baru kebangkitan Indonesia, mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” pungkas Yudi Latif. (*)