Site icon Bambang Soesatyo

Berikan Kuliah Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Bamsoet Ingatkan Pentingnya Menyelesaikan Warisan Konflik Masa Lalu

Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) Bambang Soesatyo menuturkan sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari berbagai konflik, mulai dari peristiwa DI/TII, G30S/PKI, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) serta gerakan separatisme lain yang terjadi di berbagai daerah. Pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965 mengakibatkan ratusan ribu jiwa melayang dan membuka luka sosial yang dalam. Kasus serupa juga terjadi dalam pemberontakan DI/TII yang berupaya menentang pemerintahan dan menciptakan negara Islam Indonesia pada tahun 1949 dan 1950-an.

“Setiap peristiwa tersebut menanamkan rasa kebencian dan ketidakpercayaan antar elemen masyarakat yang berlanjut hingga generasi berikutnya. Anak cucu dari keturunan pelaku sejarah yang sama sekali tidak tahu menahu atau tidak terlibat dalam peristiwa sejarah, harus ikut menanggung dosa warisan atau dosa turunan dari nenek moyang mereka. Hal ini jelas tidak boleh terus terjadi. Generasi penerus bangsa harus diberi kesempatan untuk melihat sejarah secara objektif dan menggugah semangat untuk berhenti mewariskan konflik,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Unhan, secara daring, di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

Ketua MPR ke-15 dan Ketua DPR ke-20 yang juga dosen tetap pascasarjana Universitas Borobudur, Trisaksti serta Jayabaya ini menjelaskan, pemahaman dan pelajaran dari sejarah menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Para generasi muda yang mungkin tidak merasakan langsung dampak dari konflik tersebut, dapat berperan penting dalam menciptakan rekonsiliasi dengan cara membuka dialog, memahami perasaan dan perspektif satu sama lain, serta mengedepankan kesadaran kolektif bahwa perbedaan adalah bagian dari identitas bangsa.

“Rekonsiliasi bukan berarti melupakan. Sebaliknya, penting untuk mengenali apa yang terjadi di masa lalu dan mengambil hikmahnya sebagai pembelajaran. Institusi pendidikan, misalnya, harus menjadi tempat di mana sejarah dikaji secara kritis dan mendalam, disertai dengan diskusi yang cerdas tentang akibat dari konflik serta nilai-nilai kebersamaan yang perlu ditanamkan. Dengan cara ini, generasi muda dapat menghindari kesalahan yang sama dan mewarisi semangat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, Indonesia memiliki berbagai latar belakang suku, budaya, agama, ataupun ideologi. Segala perbedaan yang ada harus menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan. Dengan semangat untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak menciptakan konflik yang baru, generasi kini dan mendatang dapat membangun Indonesia yang lebih kuat, bersatu dalam berbagai perbedaan, dan berfokus pada pencapaian bersama.

“Sejarah adalah milik bersama dan semua elemen bangsa memiliki hak untuk memperbaiki serta memajukan bangsa ini. Memahami sejarah adalah kunci untuk merajut kembali persatuan yang terputus. Melalui kesepahaman untuk berhenti mewariskan konflik, kita akan memberi kesempatan kepada generasi penerus untuk memaafkan, tanpa melupakan, dengan tetap menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga,” pungkas Bamsoet. (*)

Exit mobile version