BANJARNEGARA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan saat ini persoalan kemandirian pangan masih menjadi persoalan bangsa Indonesia. Pemerintah harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. BPS mencatat sepanjang Januari hingga September 2023, Indonesia mengimpor beras sebanyak 1,79 juta ton. BPS juga memproyeksikan dalam beberapa bulan ke depan, produksi beras akan memasuki level terendah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dilakukan impor.
Hingga saat ini, swasembada pangan masih sulit direalisasikan karena beberapa persoalan. Pertama, adanya peningkatan alih fungsi lahan yang terus terjadi seiring pertumbuhan penduduk yang juga terus bertambah. BPS mencatat, tahun 2008 lahan baku sawah nasional memiliki luas 8,07 juta hektar, namun pada 2019 menyusut menjadi 7,46 juta hektar. Tahun 2023, panen padi mayoritas hanya terkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatera saja. Bahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat alih fungsi lahan sawah rata-rata mencapai hampir sekitar 100 ribu hektar per tahun.
“Di sisi lain pertumbuhan penduduk Indonesia pada 2023 telah menembus 278 juta jiwa. Seiring dengan fase bonus demografi yang sedang kita jalani, komposisi demografi saat ini didominasi oleh kelompok usia produktif yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal atau pemukiman, pembangunan industri, dan kebutuhan lainnya,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI hari ke-7 dalam kunjunjungannya ke Dapil-7 Jawa Tengah bersama Paguyuban Mantan Kades dan Perangkat Desa Kecamatan Punggelan Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, Rabu (24/1/24).
Hadir antara lain Ketua Paguyuban Mantan Kades dan Perangkat Desa Kecamatan Punggelan Rokhim serta ratusan mantan Kades dan perangkat desa Kecamatan Punggelan Banjarnegara.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini memaparkan, faktor kedua yang ditengarai menjadi kendala dalam upaya swasembada pangan adalah jumlah petani yang justru semakin menurun. Profesi petani dari tahun ke tahun kian menyusut. Regenerasi petani tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena generasi muda tidak terlalu tertarik menjadi petani. Dimana saat ini jumlah petani muda hanya tercatat sebanyak 6,18 juta orang. Atau hanya 21,9 persen dari total jumlah petani.
“Rendahnya minat generasi muda menjadi petani, berbanding lurus dengan rendahnya pendapatan. Merujuk pada data BPS per Juli 2023, rata-rata pendapatan petani hanya mencapai Rp 2 juta per bulan, terendah dibanding sektor lainnya. Kondisi ini turut berdampak pada meningkatnya angka urbanisasi, karena kehidupan kota dipandang lebih menjanjikan,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, apabila tidak ada upaya serius untuk mengatasi adanya ketimpangan antara produksi pangan dan kebutuhan pangan, maka bangsa Indonesia tinggal menunggu waktu terjadinya krisis pangan. Persoalan ini tidak hanya menjadi kekhawatiran di Indonesia. Krisis pangan bahkan diproyeksikan menjadi tantangan komunitas global menjelang tahun 2040 hingga 2050 mendatang.
Untuk mengatasinya, diperlukan langkah-langkah strategis yang terintegrasi dari segenap pemangku kepentingan. Sehingga benar-benar berdampak nyata untuk mentransformasikan, atau lebih tepatnya merevitalisasi fungsi desa sebagai sumber ketahanan dan kemandirian pangan.
“Lebih jauh dari itu, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk memajukan desa, sedemikian rupa sehingga menarik minat generasi muda untuk tinggal di desa dan membangun desa. Insentif fiskal yang dihadirkan melalui program dana desa, seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin agar tepat sasaran. Sehingga dapat menjadi stimulus pembangunan desa. Salah satunya adalah dengan mengembangkan program DEWA (Desa Wisata Agro), DEWI (Desa Wisata Industri), dan DEDI (Desa Digital),” pungkas Bamsoet. (*)