Catatan Ketua MPR RI: Kembalikan Kekuasaan Tertinggi Rakyat dengan Kuasa menetapkan
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)
ELIMINASI atas wewenang subjektif superlatif dari MPR RI sama artinya dengan reduksi atas kekuasaan tertinggi yang melekat pada rakyat yang berdaulat. Kuasa menetapkan arah negara-bangsa oleh rakyat berdaulat patut dipulihkan, untuk melengkapi terpenuhinya kuasa memilih presiden dan kuasa memilih anggota parlemen.
Pemahaman pada makna kedaulatan rakyat hendaknya utuh. Jangan sepotong-sepotong. Begitu pun dengan penerapan atau manifestasi kedaulatan rakyat itu sendiri. Haruslah utuh dan sepenuhnya. Sekadar menyegarkan ingatan, Kedaulatan Rakyat Indonesia itu final, karena nyata-nyata telah dimeteraikan dalam sila ke-4 pancasila; yakni, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila keempat ini pun final yang mau tak mau harus ditaati tanpa syarat. Sila ini menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara-bangsa ada di tangan rakyat.
Konsekuensi logis dari kesediaan memurnikan manifestasi kedaulatan rakyat adalah pengakuan tanpa syarat bahwa sumber kekuasaan negara-bangsa adalah rakyat itu sendiri. Pemerintah pun harus lahir dari rakyat, dijalankan oleh rakyat dan semata-mata mengabdi pada rakyat. Maka, rakyat menggunakan kekuasaannya memilih presiden sebagai mandataris rakyat, serta menunjuk atau memilih wakil-wakil mereka untuk mengisi dan berperan menyuarakan aspirasi dalam lembaga atau dewan perwakilan.
Dalam konteks rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, kuasa rakyat memilih presiden sudah terpenuhi, dan oleh karenanya presiden adalah mandataris rakyat. Demikian pula dengan kekuasaan tertinggi rakyat untuk memilih anggota parlemen yang berujung pada konsekuensi bahwa anggota DPR/DPRD/DPD sebagai wakil rakyat wajib menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi atau kepentingan rakyat.
Namun, makna kekuasaan tertinggi rakyat menjadi tidak sempurna lagi karena dihilangkannya kuasa permusyawaratan rakyat memberikan mandat kepada mandaris-nya, presiden. Sebagaimana diketahui, dengan memberlakukan pasal 7 Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tersirat kesimpulan atau ketetapan bahwa MPR tidak bisa lagi membuat ketetapan MPR.
Muncul dua kontradiksi dari pemberlakuan UU dimaksud. Per esensi, Pasal 7 UU No.12/2011 mengingkari hierarki perundang-undangan yang menempatkan Ketetapan (TAP) MPR pada urutan kedua setelah UUD 1945. Pasal ini hanya menerima TAP MPRS dan TAP MPR sampai tahun 2002. Dengan menghapus wewenang subjektif superlatif dari MPR RI, untuk apa lagi menempatkan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan? Bukankah setelah tahun 2002 MPR tak lagi boleh melaksanakan konstitusional-nya membuat TAP MPR?
Kontradiksi kedua adalah hilangnya hak dan kewajiban antara rakyat dengan mandatarisnya. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, hak rakyat memberi mandat kepada mandataris telah dieliminasi. Dan, kewajiban presiden sebagai mandataris untuk menerima mandat dari rakyat pun otomatis dihilangkan. Maka, tidak relevan lagi untuk memosisikan Presiden sebagai mandataris rakyat.
Konsekuensinya logisnya, hierarki perundang-undangan pun patut diubah, antara lain dengan menggusur TAP MPR dari hierarki perundang-undangan itu. Sebab, hierarki atau tata urutan perundang-undangan negara yang masih berlaku adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan MPR; UU/Perppu; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kalau pun hierarki itu tetap dipertahankan, tata urutan hukum itu tetap saja kehilangan makna strategisnya selama wewenang subjektif superlatif MPR RI tidak dipulihkan. Sebaliknya, kalau hierarki perundang-undangan itu ingin tetap dipertahankan dan bermakna strategis, konsekuensi logisnya adalah mengeliminasi penjelasan pasal 7 UU No.12/2011 melalui judicial review.
Minimal, ada dua makna strategis dari kesediaan memulihkan wewenang subyektif superlatif MPR RI. Makna pertama, mengembalikan dan menyempurnakan kekuasaan tertinggi rakyat untuk membuat TAP MPR. Sebab, TAP MPR patut dimaknai dan diterima sebagai sebuah rumusan apirasi terbaik menurut semua elemen masyarakat negara-bangsa. Bukankah untuk memenuhi berbagai aspek kepentingannya, rakyat selalu didorong untuk pro aktif dalam proses merumuskan ragam kebijakan strategis.
Lebih dari itu, setiap kebijakan strategis yang terbit dan diberlakukan melalui TAP MPR patut dipahami sebagai sebuah inisiatif yang tujuannya semata-mata demi kebaikan bersama semua elemen rakyat negara-bangsa. Sebab, kebijakan strategis atau TAP MPR itu lahir dari kesepakatan semua elemen rakyat dalam majelis permusyawaratan/perwakilan yang konstitusional.
Makna strategis kedua dari kemauan memulihkan wewenang subyektif superlatif pada MPR RI adalah menyempurnakan serta mempertegas lagi hak rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemberi mandat, dengan kewajiban presiden sebagai mandataris rakyat melaksanakan mandat rakyat. Dengan penegasan akan hak dan kewajiban itu, presiden selaku mandataris rakyat menjadi benar-benar bermakna strategis dan konstitusional.
Sebaliknya, mengeliminasi wewenang subjektif superlatif dari MPR patut dipahami sebagai tindakan mereduksi kekuasaan tertinggi rakyat, utamanya kuasa memberi mandat kepada presiden selaku mandataris rakyat. Dan, sudah barang tentu ketetapan bahwa presiden sebagai mandataris rakyat itu pun benar-benar kehilangan makna. Sebab, dengan vakumnya wewenang subyektif superlatif pada MPR, tidakkah itu berarti menghalangi rakyat memberi mandat kepada presiden atau kepala pemerintahan yang telah dipilih oleh rakyat?
Karena presiden dipilih rakyat, mandat rakyat kepada mandataris-nya adalah keniscayaan. Mandat rakyat itu wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Pengawasan atas kepatuhan dan pelaksanaan mandat rakyat itu dilakukan bersama-sama oleh DPR-MPR.
Sebaliknya, jika presiden merasa tidak ada kewajiban menerima mandat langsung dari rakyat yang memilihnya, salah satu potensi risiko yang muncul kemudian adalah kesewenang-wenangan pada berbagai aspek, baik aspek tata kelola pemerintahan maupun aspek pembangunan.
Akhirnya, kendati rakyat Indonesia berdaulat, adalah fakta bahwa kuasa rakyat menetapkan arah atau masa depan negara-bangsa melalui permusyawaratan/perwakilan saat ini belum terpenuhi. Fakta ini adalah bentuk pengingkaran pada sila ke-4 pancasila; “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
Maka, Kuasa rakyat menetapkan melalui TAP MPR itu hendaknya segera dipulihkan, sekaligus sebagai wujud pemurnian akan manifestasi kedaulatan rakyat yang menjadi sumber kekuasaan negara-bangsa.