Catatan Ketua MPR RI: Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam KrisisMemampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA).
NEGARA-bangsa harus mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif, Indonesia akan dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.
Selain berfungsi merespons, mengelola dan mengatasi ragam krisis, sistem hukum ketatanegaraan yang solutif dan efektif hendaknya juga dipahami sebagai instrumen yang sangat dibutuhkan, bahkan keniscayaan, untuk menjaga dan merawat aspek ketahanan nasional, serta aspek persatuan dan kesatuan negara-bangsa. Sistem Hukum ketatanegaraan tentu saja harus berlandaskan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila. Dan, berpijak pada kodrat kebhinekaan bangsa, sistem hukum ketatanegaraan Indonesia hendaknya selalu dijiwai oleh akar budaya serta kearifan lokal yang menjadi sistem nilai semua komunitas anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.
Apa pun masalah atau krisis yang dihadapi negara-bangsa, termasuk krisis politik sekali pun, segala aspeknya harus dihadapkan pada sistem hukum ketatanegaraan. Strategi merespons krisis, mengelola dan mengatasi rangkaian masalah yang muncul akibat krisis, hingga kebijakan-kebijakan penyelesaiannya, harus tetap berpijak pada sistem hukum ketatanegaraan. Setiap individu warga negara tentu saja memiliki hak untuk bereaksi dan bersikap menanggapi dampak atau ekses krisis. Namun, berpijak pada hukum ketatanegaraan itu pula, amuk krisis pada skala sebesar apa pun tidak pernah boleh menoleransi sikap dan tindakan-tindakan inskonstitusional yang berpotensi mengganggu ketahanan nasional atau mengarah pada upaya merusak persatuan dan kesatuan negara bangsa.
Dalam konteks ini, pernyataan atau catatan yang dikedepankan oleh pakar hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra patut digarisbawahi, untuk kemudian direnungkan oleh segenap elemen bangsa. Patut pula disyukuri karena potensi masalah yang ditunjuk Prof Yusril dikedepankan ke ruang publik ketika negara bersama segenap elemen bangsa sedang melakoni aneka perubahan. Memang benar bahwa perubahan zaman menghadirkan banyak manfaat bagi kehidupan bernegara-berbangsa, namun perubahan itu nyata-nyata pula telah menghadirkan potensi masalah. Semua potensi masalah itu wajib diwaspadai untuk kemudian disikapi.
Prof Yusril kemudian mengajak semua pihak untuk mengenang kembali krisis politik tahun 1966/67 dan krisis politik tahun 1998. Krisis politik 1966/67 terjadi akibat pergolakan berdarah yang dikenang sebagai peristiwa G-30-S/PKI. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menilai Presiden Sukarno gagal memberi pertanggungjawaban. Pada Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno, untuk kemudian menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Tahun 1998, faktor ekonomi yang ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah dicatat sebagai awal krisis. Kegagalan pemerintah mengatasi krisis ekonomi menimbulkan ketidakpuasan berbagai elemen masyarakat. Mahasiswa turun ke jalan melancarkan protes atas maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kegagalan pemerintah menanggapi Protes yang meluas saat itu memicu krisis politik.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai Presiden dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Dasar hukum pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden adalah Tap MPR No. VII/MPR/1973. Tap MPR ini menetapkan bahwa “Jika Presiden berhalangan, maka wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden.”
Pada dua krisis politik itu, MPR masih menggengam amanat penugasannya sesuai UUD 1945 untuk menjalankan kedaulatan rakyat dengan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara. Sedangkan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah mandataris MPR. Presiden wajib melaksanakan Ketetapan MPR, dan juga diwajibkan memberi laporan pertanggungan jawab mengenai pelaksanaan Ketetapan MPR.
Pasca amandemen keempat UUD 1945, MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Per status, MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, namun tidak sama. Sebab, DPR berwenang membuat UU, sementara Presiden berwenang menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu). MPR pasca amandemen tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling (pengaturan yang mengikat). Bahkan, pada momentum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sekali pun, MPR RI tidak lagi memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan.
Faktor minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah yang menjadi catatan atau perhatian khusus Prof Yusril. Dia mengemukakan aspirasinya agar peran dan fungsi MPR RI diperkuat kembali. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR membuat ketetapan yang mengikat. Apalagi, hirarki perundang-undangan sudah ditetapkan oleh Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).
Tidak ada tujuan lain dibalik aspirasi pemulihan atau penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis dibalik aspirasi ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.
Tentu saja, siapa pun tidak pernah menghendaki terjadinya krisis politik. Semua orang tahu, harga yang harus dibayar oleh sebuah krisis politik sangatlah mahal. Namun, kendati krisis politik atau krisis konstitusi tidak pernah diinginkan, tetap saja sebuah negara-bangsa harus antisipatif dengan memberlakukan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
Sekadar pengandaian, krisis politik akan terjadi jika Pemilu 2024 tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena alasan kedaruratan. Tentang penundaan Pemilu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 431 UU ini telah mengatur tentang penundaan Pemilu. Ditetapkan bahwa Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik.
Kemudian, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada potensi kekosongan pemerintahan jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sambil menunggu hasil Pemilu untuk mendapatkan pemerintahan baru yang legitimate, haruskah Republik Indonesia dibiarkan begitu tanpa administrasi pemerintahan yang memerintah? Krisis politik menjadi kenyataan tak terhindarkan oleh karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu.
Belajar dari catatan sejarah tentang krisis politik 1966/67 dan krisis politik1998, menjadi relevan ketika Prof Yusril menyuarakan aspirasinya tentang urgensi penguatan atau pemulihan tugas dan fungsi MPR. Aspirasi yang sama sudah berulangkali disuarakan unsur pimpinan MPR RI. Aspirasi ini tentu saja tidak semata-mata tentang pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan dilandasi keniscayaan negara-bangsa berkemampuan mengelola dan mengatasi krisis politik dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
Untuk tujuan itu, kedudukan, fungsi dan tugas MPR patut diperkuat kembali tanpa harus mengubah UUD 1945. Penguatan itu bisa diwujudkan dengan kesediaan semua elemen bangsa untuk kembali pada hirarki perundang-undangan, agar negara-bangsa mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi NKRI.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 2023. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.