Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas
Trisakti dan Universitas
Pertahanan RI (UNHAN)
KURIKULUM pendidikan itu ibarat kompas atau peta jalan bagi anak dan remaja untuk memilih dan membangun komptensi menyongsong masa depan mereka. Karena itu, muatan kurikulum pendidikan idealnya berpijak pada tuntutan dan kebutuhan zaman, agar anak dan remaja usia sekolah tidak tersesat di tengah roda perubahan yang terus berputar. Sangat disayangkan bahwa peran pemerintah menghantarkan dan menuntun generasi muda beradaptasi dengan perubahan zaman terbilang sangat minimalis.
Respons dunia pendidikan nasional terhadap perubahan zaman belum signifikan. Bahkan, sejumlah praktisi dan pengamat pendidikan sudah sampai pada penilaian bahwa dunia pendidikan nasional tidak dan belum bertransformasi mengikuti perubahan. Orientasi dan muatan kurikulum pendidikan yang ditawarkan pemerintah nyaris belum menyentuh kebutuhan anak didik untuk beradaptasi dengan perubahan. Padahal, roda perubahan terus berputar dengan cepat.
Industri 4.0 atau otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik menjadi contoh perubahan yang terus berproses. Belum berhenti sampai di situ, komunitas global kini bersiap menapaki era Society 5.0, sebuah konsep tentang transformasi sosial dan ekonomi ketika manusia lebih mengandalkan teknologi digital untuk memenuhi ragam kebutuhan. Bahkan, hari-hari ini, pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) pun tampak semakin progresif, utamanya pada otomasi tugas atau pekerjaan rutin hingga analisis data yang akurasinya tidak diragukan lagi.
Era Industri 4.0, pemanfaatan AI dan Sosciety 5.0 sejauh ini hanya menjadi perhatian dan tema obrolan segelintir komunitas. Sangat memprihatikan karena muatan perubahan zaman itu belum dijadikan tema prioritas oleh dunia pendidikan nasional. Padahal dunia dan sistem pendidikan punya kewajiban moral untuk memberi pamahaman sekaligus menghantarkan anak dan remaja mengenal dan beradaptasi dengan SEMUA perubahan itu, agar generasi muda Indonesia tidak tersesat di tengah roda perubahan yang terus berputar.
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa modernisasi akan terus tereskalasi karena teknologi terus berkembang. Perubahan atau digitalisasi sejatinya tidak baru bagi masyarakat kebanyakan. Sebab, sejak memasuki dasawarsa 90-an hingga awal dekade 2.000-an, masyarakat Indonesia sudah mengenal digitalisasi dengan hadirnya internet dan ragam perangkat telepon digital, mobile data hingga teknologi jaringan nirkabel atau Wifi (wireless fidelity). Efisiensi dan efektivitas berkomunikasi serta pola kerja terus berevolusi menjadi semakin cepat. Eskalasi dan evolusi itu telah mengubah dinamika kehidupan masyarakat pada berbagai aspek sebagai penanda perubahan zaman. Dunia pendidikan pun menjadi bagian tak terpisah dari arus perubahan itu.
Namun, masyarakat melihat bahwa dunia pendidikan nasional belum memperlihatkan perubahan signifikan seturut kebutuhan zaman. Memang, pemerintah pasti memahami berbagai konsekuensi dari perubahan itu. Sayangnya, respons terhadap ragam perubahan itu terbilang lamban dan juga minimalis. Masyarakat hanya tahu bahwa hanya kurikulum pendidikan yang terus berubah-ubah. Sekitar enam tahun setelah reformasi 1998, Kurikulum 1994 yang padat materi diganti dengan kurikulum 2004 berbasis kompetensi.
Dua tahun setelahnya, diperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 yang memberi kebebasan kepada sekolah menyusun kurikulum sesuai kebutuhan dan potensi lokal. KTSP kemudian diganti dengan Kurikulum 2013 (K-13) yang memberi tekanan pada pendidikan karakter, pengembangan kompetensi abad 21, dan pembelajaran berbasis proyek. K-13 kemudian diganti lagi pada tahun 2020, dengan Kurikulum Merdeka yang memuat program Merdeka Belajar.
Tetapi, muatan kurikulum pendidikan yang terus diubah-ubah itu sama sekali tidak responsif dengan kebutuhan anak dan remaja era terkini. Dinamika hidup keseharian orang muda era sekarang melekat pada akses Internet, teknologi digital, serta AI. Pemerintah yang mengatur berbagai aspek pendidikan nasional terkesan sangat lambat merespons berbagai konsekuensi perubahan di era digital sekarang. Muatan kurikulum yang juga selalu berubah itu menyebabkan anak dan remaja menghadapi ketikdakpastian untuk menetapkan minat dan membangun kompetensi mereka.
Digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan sudah barang tentu menghadirkan tantangan baru yang cukup rumit bagi kegiatan belajar-mengajar dalam dunia pendidikan. Para ahli sudah berkali-kali mengingatkan bahwa karakter dan kebutuhan siswa era terkini pasti berbeda dengan siswa generasi terdahulu. Melek teknologi menjadi ciri utama pada Gen-Z dan Generasi Alpha. Konsekuensinya, komunitas pendidik atau guru pun harus lebih melek teknologi agar dapat menjawab kebutuhan siswa.
Sayangnya, upaya meningkatkan kompentensi digital komunitas pendidik pun sangat lamban dengan jumlah yang minim untuk memberi pemahaman digital pada puluhan juta anak dan remaja. Pada periode 2023-2024, jumlah pelajar di Indonesia mencapai 53,14 juta siswa, dan 24,04 juta di antaranya adalah siswa sekolah dasar (SD). Dalam sebuah kesempatan di bulan Mei 2023, seorang pejabat Kemendikbud menyajikan data bahwa dari total jumlah guru di Indonesia, baru 40 persen yang melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Dan, 60 persen sisanya digambarkan masih gagap dengan perubahan di era digital sekarang. Boleh jadi, faktor ini menyebabkan derajat literasi digital pada masyarakat, utamanya komunitas anak dan remaja di Indonesia, tergolong rendah. Per 2023, jumlah guru berserfikat pendidik mencapai 1.274.486 guru, turun dari 2019 yang jumlahnya 1.392.155 guru.
Seturut tuntutan zaman, Indonesia sudah pasti akan terus bertransformasi di era digitalisasi yang sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Konsekuensinya, permintaan akan tenaga kerja dengan keterampilan digital pasti akan sangat besar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi digital Indonesia yang terus bertumbuh. Misalnya, pekerja yang kompeten pada teknologi informasi, data analytics, hingga AI. Pemerintah, khususnya Kemendikbud, pun idealnya segera bertransformasi dengan menjadi motor perubahan paradigma dalam dunia pendidikan nasional.
Patut diingat dan digarisbawahi fakta tentang hampir 10 juta Gen-Z yang sudah tersesat di tengah perubahan sekarang. Mereka tersesat, karena ilmu pengetahuan yang mereka pelajari dari kurikulum saat ini tidak sesuai kebutuhan era digitalisasi sekarang. Menyedihkan, karena mereka harus menyandang status penganggur dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Agar tidak menjadi beban negara di kemudian hari, pemerintah hendaknya pro aktif memberi solusi bagi 10 juta Gen-Z yang tidak bekerja dan tidak bersekolah itu.
Kemendikbud pun diharapkan lebih agresif dalam menanggapi kebutuhan negara akan talenta digital (digital talent). Dari berbagai studi dan laporan, sudah dimunculkan beberapa perkiraan tentang kebutuhan Indonesia akan digital talent. Bank Dunia pada tahun 2019 memperkirakan Indonesia butuh sekitar sembilan (9) juta tenaga kerja dengan keterampilan digital hingga tahun 2030. Sedangkan McKinsey & Company pada 2019 juga mengingatkan, hingga 2025, Indonesia akan butuh tambahan per tahunnya sekitar 600.000 pekerja dengan ketrampilan digital untuk melayani pertumbuhan ekonomi digital.
Pada tahun 2020, Indonesia ICT Institute memperkirakan, kebutuhan Indonesia akan pekerja dengan ketrampilan digital mencapai satu (1) juta orang pada tahun 2024. Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa Indonesia butuh tak kurang dari Sembilan (9) juta digital talent dalam 15 tahun ke depan. Idealnya, Kemendikbud bisa menyediakan dan memberi akses seluas-luas kepada anak dan remaja untuk bisa mendalami ketrampilan digital sejak dini. Sebab, masa depan digitalisasi Indonesia ada di pundak anak dan remaja saat ini.
Sejak 2019, negara sudah melaksanakan kewajibannya mendukung sektor pendidikan nasional dengan alokasi anggaran 20 persen dari total nilai APBN. Artinya, sudah ribuan triliun dana APBN dialokasikan untuk memperkuat sektor pendidikan. Penguatan itu akan terus berlanjut dengan dana ratusan triliun per tahunnya di waktu-waktu mendatang. Selain Kemendikbud dan Kementerian Agama, anggaran pendidikan yang besar itu pun dialokasikan ke 22 kementerian/lembaga lainnya.
Dengan besarnya kekuatan itu, dunia pendidikan nasional mestinya mampu bertransformasi demi masa depan anak dan remaja. Sebab, menjadi kewajiban moral Pemerintah untuk menuntun dan menghantarkan anak serta remaja Indonesia beradaptasi dengan perubahan. Jangan lagi membiarkan orang muda Indonesia tersesat di tengah keberlanjutan perputaran roda perubahan zaman.