JAKARTA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memastikan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang diubah penamaannya menjadi Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PIHU), akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI untuk disahkan pada Kamis, 28 Maret 2019. Pengesahan UU PIHU menjadi bukti, walaupun sedang disibukan dengan Pemilu, DPR RI tetap fokus menyelesaikan berbagai legislasi yang berkenaan langsung dengan kehidupan rakyat.
“Jika di UU lama hanya mengatur tentang haji, setelah revisi diatur pula tentang umroh. UU ini juga memberikan kepastian jamaah terlayani dengan baik. Penindakan pidana kepada biro travel juga diatur secara jelas, sehingga memberikan kepastian hukum kepada para jamaah,” ujar Bamsoet saat menerima pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), di ruang kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Rabu (27/03/19).
Pengurus IPHI yang hadir antara lain Ismed Hasan Putro (Ketua Umum), HM Samidin Nashir (Sekjen), K. Zulkarnain (Wakil Sekjen), Haruk Rofida (Wakil Sekjen), Gatot Solahudin (Wakil Sekjen) dan Makrus Ali (Departemen Hukum).
Politisi Partai Golkar ini menjelaskan, dalam UU PIHU juga diatur adanya prioritas kepada jamaah haji difabel dan lansia yang berusia diatas 65 tahun. Ada juga ketentuan jika calon jamaah haji meninggal dunia, terdapat pelimpahan porsi keberangkatan dan daftar tunggu kepada anggota keluarga yang menggantikan.
“Karena menyesuaikan dengan kuota haji yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia yang kadang berubah setiap tahunnya, maka mekanisme keberangkatan jamaah haji ditentukan oleh Keputusan Menteri Agama, tidak spesifik diatur dalam UU. Namun DPR RI selalu menekankan kepada Kementerian Agama agar memperbaiki pola penyusunan daftar tunggu, sehingga ada standar baku keberangkatan jamaah haji menggadopsi pola first in, firs out,” tutur Bamsoet.
Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menuturkan, pengurus IPHI juga menyampaikan aspirasi tentang managemen pengelolaan keuangan haji. Sebagaimana ketentuan UU No.34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Kementerian Agama tak lagi mengelola dana haji. Melainkan diserahkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Presiden Joko Widodo pada 13 februari 2018 juga sudah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU No. 34 tahun 2014.
Data dari BPKH, potensi dana kelolaan haji mencapai Rp 114 triliun. Tak hanya memegang dana pelaksanaan ibadah haji yang disimpan dalam bank-bank yang ditunjuk sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) saja, BPKH juga mengelolanya sesuai aturan pengeluaran penempatan dan investasi keuangan haji.
“Selain diparkir dalam deposito syariah, surat berharga syariah negara, dan sukuk dana haji Indonesia, dana haji juga bisa digunakan untuk investasi langsung yang berkaitan dengan penyelengggaraan ibadah haji. Misalnya, membangun industri hotel di Mekkah dan Madinah, maupun ke dalam industri penerbangan. Sehingga bisa berefek langsung kepada peningkatan pelayanan haji yang diterima oleh jamaah Indonesia,” jelas Bamsoet.
Mengingat besarnya jumlah jamaah haji Indonesia, yang pada tahun 2019 ini saja kuotanya mencapai 221.000, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini mendorong IPHI bisa menghimpun potensi ekonomi keumatan yang bisa dimaksimalkan. Misalnya dengan membuat usaha bersama berupa minimarket yang menyediakan kebutuhan sembako, maupun membuat jaringan usaha yang bisa menggerakan roda ekonomi nasional.
“IPHI tak hanya berperan dalam proses keberangkataan haji saja, melainkan juga pembinaan usai para jamaah pulang ke Indonesia. Usai melaksanakan ibadah haji, ukhuwah persaudaraan antar sesama jamaah biasanya akan sangat kuat sekali. Sayang jika tidak dikembangkan untuk memaksimalkannya bagi kebaikan umat,” papar Bamsoet.
Tak hanya itu, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini juga mengajak IPHI bisa menjadi mitra kerja aktif pemerintah dan DPR RI. Terutama dalam mengedukasi masyarakat agar bisa mendapatkan informasi yang utuh seputar penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.
“Misalnya, masih banyak yang salah paham bahwa Visa Progresif Umroh sebesar 2.000 real (sekitar Rp 8,3 juta rupiah) yang dinilai memberatkan jamaah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Padahal ketentuan tersebut datangnya dari Pemerintah Arab Saudi. Tak hanya Umroh, pemerintah Arab Saudi juga mulai mengenakan Visa Progresif Haji,” urai Bamsoet.
Awalnya, lanjut Dewan Pakar KAHMi ini, aturan Visa Progresif Umroh tersebut berlaku lima tahun. Namun karena banyak negara-negara berpenduduk muslim yang keberatan, termasuk Indonesia, pemerintah Arab Saudi merevisinya menjadi 2 tahun. Aturan ini bukan untuk menghalangi, namun untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang agar bisa melakukan ibadah umroh dan haji.
“Pengenaan visa progresif umroh yang dilakukan pemerintah Arab Saudi berdasarkan nomor pasport. Tak jarang jamaah dari berbagai negara mengakali dengan membuat pasport baru atau e-pasport, sehingga nomor pasportnya berbeda dengan pasport yang lama. Saya himbau agar jamaah Indonesia tidak melakukan hal ini. Karena niat ke Tanah Suci untuk ibadah, maka cara-cara yang dilakukan pun seyogyanya juga dilakukan sesuai aturan,” pungkas Bamsoet. (*)