JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi peran Dewan Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa yang telah mengoptimalkan peran masjid sebagai pemberdaya umat. Masjid memiliki peran strategis dalam menjalankan lima fungsi yang merupakan cerminan dari “lima pilar” masjid. Dengan adanya sinergi lima pilar tersebut, peran masjid sebagai pemberdaya umat, akan berdampak nyata dalam membangun peradaban masyarakat.
Pertama, fungsi peribadatan yang memiliki sumberdaya mumpuni dan fasilitas yang memadai, khususnya dalam menjaga kesucian tempat ibadah. Kedua, fungsi manajerial dalam pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, wakaf, serta fungsi-fungsi sosial dakwah dan kemanusiaan. Ketiga, fungsi kaderisasi dan pemberdayaan masyarakat, khususnya remaja dan pemuda masjid.
“Keempat, fungsi penyebaran siar dakwah Islamiyah secara kaffah, terukur, tersistem, dan proporsional. Kelima, fungsi penyedia fasilitas dan ekosistem, sehingga dapat dimanfaatkan oleh umat untuk ber-muamalah, berinteraksi, dan saling memberikan edukasi,” ujar Bamsoet saat menghadiri Halal Bihalal Lima Pilar Masjid Agung Sunda Kelapa, di Aula Sakinah Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis (2/5/24).
Turut hadir Ketua Panitia Halal Bihalal Lima Pilar Masjid Agung Sunda Kelapa Lenny Bambang Soesatyo. Hadir pula jajaran pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa, antara lain Ketua Setyanto, Pembina Fuad Bawazier, Dewan Pakar Mukhlis M Hanafi, Imam Masjid Amin Sabaruddin, Wakil Bendahara Arief Rosyid, dan Kabid Operasional Budiyono.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, berdasarkan data Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Kementerian Agama, jumlah masjid di Indonesia per Maret 2024 sudah mencapai 299.692 unit. Besarnya jumlah masjid menggambarkan besarnya potensi dan peluang yang bisa dimanfaatkan dalam memajukan kehidupan ummat. Termasuk dalam melestarikan seni budaya khazanah bangsa.
“Sebagaimana banyak terlihat, masyarakat Indonesia kerap menjadikan masjid sebagai lokasi penyelenggaraan halal bihalal di setiap momen Idul Fitri. Halal Bihalal bukan hanya ritual keagamaan, melainkan telah menjadi bagian dari seni budaya bangsa dan bahkan jati diri bangsa Indonesia,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, halal bihalal sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Pertama kali muncul dalam kamus Jawa-Belanda oleh Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1938, yang mendefinisikan ‘alal behalal’ sebagai kunjungan dan salam permintaan maaf setelah Ramadan atau lebaran. Tradisi halal bihalal mulai populer di Solo pada tahun 1930-an ketika seorang penjual martabak di Taman Sriwedari menggunakan istilah ‘halal bihalal’ untuk mempromosikan produknya.
“Halal bihalal menjadi lebih nasional ketika Presiden Soekarno mengadakan acara halal bihalal di Istana Negara pada tahun 1948, mengundang pemimpin politik untuk rekonsiliasi dan membentuk front bersatu. Hingga kini, tradisi halal bihalal dalam masyarakat Indonesia tetap terpelihara, dan bahkan telah menginspirasi dan diikuti oleh negara-negara berpenduduk muslim lainnya,” pungkas Bamsoet. (*)