Jangan Lagi Kekanak-kanakan, Mulailah Bicara Program
Tribunnews.com – Panggung politik yang akhir-akhir ini lebih mempertontonkan aktor politik dengan perilaku kekanak-kanakan harus dihentikan, karena sama sekali tidak mendidik.
Menuju puncak tahun politik 2019, sangat ideal jika para politisi mau menunjukan adab dan kedewasaan berpolitik, serta fokus menanggapi dan mengolah aspirasi masyarakat, membangun optimisme, sambil terus menyuarakan kritik yang obyektif, proporsional didukung data yang akurat dan relevan.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, ruang publik dikotori dengan perilaku kekanak-kanakan sejumlah aktor politik. Saling ejek, saling hina hingga saling tuduh dan saling sindir. Persepsinya sungguh tidak elok, pun terkesan vulgar, karena sering menggunakan kata-kata yang dirasakan sangat kasar oleh orang kebanyakan.
Sungguh, apa yang tampak di permukaan tak lebih dari perilaku kekanak-kanakan, dan dengan begitu sama sekali tidak mendidik, juga tidak mencerahkan. Ada yang tak sungkan berbohong. Lainnya melempar tuduhan tapi menolak dimintai keterangan. Ada juga yang lancang bicara tentang statistik ekonomi tapi dengan data yang tidak relevan.
Bahkan, dalam beberapa kasus , logika publik coba dirusak dengan memaksakan pemahaman yang tidak pada tempatnya. Misalnya, ketika diskusi sampai pada tema utang luar negeri (ULN), yang dikedepankan hanya besaran volume ULN, sementara penggunaan atau manfaat ULN sama sekali tidak dikedepankan.
Selain itu, ada tendensi untuk memaksa publik tidak mengapresiasi fakta tentang progres serta makna filosopis dari pembangunan ragam infrastruktur di hampir semua pelosok tanah air, termasuk juga upaya teramat keras merealisasikan politik satu harga untuk komoditas strategis tertentu seperti bahan bakar minyak (BBM).
Ada upaya atau dorongan kepada masyarakat untuk gagal paham bahwa merealisasikan pembangunan infrastruktur pada hampir semua daerah di luar Jawa adalah tahapan terpenting dan sangat strategis dari agenda memperkokoh ikatan NKRI.
Sedangkan realisasi politik satu harga, kerja peningkatan eletrifikasi hingga realisasi proyek Palapa Ring timur dan barat adalah upaya negara mewujudkan keadilan dan pemerataan kesempatan.
Memang, tidak semua dari infrastruktur yang direalisasikan itu langsung berdampak ekonomis. Tetapi target strategis yang lebih diutamakan, dan target itu nyaris sudah terwujud ketika warga negara di semua pelosok tanah air dapat merasakan Jakarta atau pemerintah pusat dan DPR RI peduli pada masa depan mereka dan daerahnya.
Manuver mem-blow up volume ULN yang berkelanjutan lebih bertujuan menyesatkan pemahaman sebagian masyarakat tentang pemanfaatan ULN. Menggoreng isu tentang gelembung volume ULN juga lebih bertendensi untuk mengatakan kepada publik bahwa ULN itu tidak bermanfaat atau tidak bernilai tambah dalam konteks keseluruhan pembangunan nasional.
Namun, mereka yang menggoreng isu ULN itu tak pernah mampu menjelaskan untuk apa saja pemanfaatan ULN itu sendiri.
Sebaliknya, mereka tak pernah mampu mengungkap penyalahgunaan atau kebocoran ULN, kalau pun ada. Jadi, yang digaungkan hanya gelembung ULN untuk membuat gelisah banyak orang.
Patut disyukuri bahwa tidak semua kalangan mau terperangkap dalam cara pikir dan cara pandang aktor-aktor politik yang berperilaku kekanak-kanakan itu. Berulangkali publik melihat bahwa pernyataan ngawur atau asal bunyi dari aktor-aktor politik itu tak jarang dibantah dan diluruskan oleh unsur-unsur dari dalam masyarakat sendiri.
Ketika ada yang mensinyalir bahwa Bank Dunia menyalurkan bantuan melalui rekening pribadi seseorang, sinyalemen yang mengundang tawa itu buru-buru diluruskan berbagai kalangan di masyarakat; bahwa tak mungkin Bank Dunia menyalurkan bantuan melalui rekening pribadi. Begitu juga dengan sinyalemen asal-asalan tentang biaya pembangunan light rail transit (LRT) hingga tempe setipis kartu ATM.
Tantangan Publik
Perilaku kekanak-kanakan yang ditandai dengan kritik asal bunyi, saling hina, saling tuduh hingga saling ejek itu bertujuan mendegradasi elektabilitas lawan politik. Akan tetapi, ketika semuanya dilakukan oleh aktor-aktor politik yang sejatinya tidak punya kompetensi pada isu-isu dimaksud, perilaku yang demikian sebenarnya menjurus pada tindakan bunuh diri politik. Sebab, kritik asal bunyi diasumsikan menganggap publik bodoh sehingga akan percaya begitu saja pada kritik yang ngawur itu.
Namun, ketika publik paham bahwa kritik itu salah alias asal bunyi, para aktor politik itu akan dinilai tidak kompeten. Publik marah karena dianggap bodoh. Kemarahan publik akan dilampiaskan saat setiap orang menetapkan pilihan politiknya.
Berpijak pada logika politik dan faktor-faktor penentu elektabilitas, tindakan bunuh diri politik sebenarnya cukup marak dilakukan sejumlah politisi sepanjang periode menuju penetapan calon presiden (Capres) dan calon wakil Presiden (Cawapres) hingga prngambilan nomor urut peserta Pilpres 2019.
Bahkan ada sejumlah aktor yang berpotensi berhadapan dengan proses hukum, misalnya karena asal-asalan menuduh, menghina atau mencemarkan nama baik pihak lain. Namun, karena asumsi bahwa tensi boleh menghangat menuju tahun politik 2019, diberikan toleransi terhadap aktor-aktor politik yang berperilaku tidak terpuji itu.
Dua kandidat Capres-Cawapres sudah ditetapkan berikut nomor urut masing-masing. Tim pemenangan tingkat nasional hingga daerah sudah dibentuk.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah menetapkan tanggal 23 September 2018 menjadi hari pertama dimulainya kampanye, yang diawali deklarasi kampanye damai. Para aktor politik kedua kubu diharapkan mau mengaktualisasikan tema kampanye damai itu.
Jika konsisten dengan semangat itu sekaligus mewujudkan pesta demokrasi yang menggembirakan, perilaku kekanak-kanakan hendaknya tidak lagi dipraktikan.
Tim kampanye dari kedua kubu –umumnya beranggotakan para politisi – patut menyadari bahwa publik menantang mereka untuk lebih mengedepankan program, solusi serta gagasan-gagasan baru yang lebih menjanjikan.
Program, solusi maupun gagasan baru itu hendaknya realistis, mengacu pada fakta-fakta persoalan terkini. Harap dicamkan bahwa publik menolak jika program atau gagasan baru itu cenderung mengawang-awang. Dari program dan gagasan itu, publik ingin optimisme mereka ditumbuhkan.
Dengan begitu, publik meminta kedua kubu untuk lebih beradab dan dewasa dalam berpolitik. Sebagai kekuatan politik, kedua kubu harus fokus mendengar, menanggapi dan mengolah aspirasi masyarakat.
Dengan berpijak pada fakta-fakta persoalan terkini, kedua kubu pun harus berani menetapkan prioritas program masing-masing. Silahkan memanfaatkan panggung kampanye untuk mengritik lawan. Tapi kritik harus obyektif, proporsional didukung data yang akurat dan relevan.
Seperti diketahui bersama, menuju Pilpres 2019, Indonesia masih menghadapi gejolak nilai tukar valuta yang berakibat pada depresiasi rupiah. Durasi pelemahan rupiah sulit ditetapkan karena bergantung pada mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh langkah-langkah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve.
Selain itu, perang dagang yang melibatkan dua raksasa ekonomi, AS versus China, juga sedikit banyak menghadirkan dampak negatif bagi Indonesia. Indonesia akan menghadapi dua masalah ini hingga tahun-tahun mendatang. Artinya, itulah persoalan nyata terkini yang harus disikapi kedua kubu.
Tentu saja masyarakat menunggu resep apa yang akan ditawarkan kedua kubu untuk merespon masalah-masalah tersebut. Untuk merumuskan strategi mengatasi masalah-masalah dimaksud, aktor-aktor politik di kedua kubu tidak boleh lagi berperilaku kekanak-kanakan. Perang pernyataan tidak lagi diperlukan, karena aktor-aktor politik diminta berpikir keras mencari solusi.