JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi tiga capaian prestasi luar biasa yang ditorehkan Prof. Jimly Asshiddiqie. Pertama, peluncuran buku ke-74 dan ke-75, berjudul “Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme” serta buku “Oligarki dan Totalitarian-isme Baru”. Kedua, Peresmian Jimly Book Corner di sepuluh perguruan tinggi antara lain UI, UNS, UNIBRAW, UNDIP, UNPAR, Universitas Andalas, Universitas Jenderal Ahmad Yani, dan Universitas Al-Azhar Indonesia. Ketiga, Penganugerahan Rekor dari LEPRID (Lembaga Prestasi Indonesia dan Dunia) sebagai Tokoh Indonesia pertama di dunia sebagai penulis buku terbanyak, Tokoh Indonesia pertama di dunia yang meluncurkan Book Corner di berbagai Universitas, serta Tokoh Indonesia pertama di dunia yang menuliskan buku tentang Green and Blue Constitution. Ketiga capaian tersebut semakin menempatkan Prof. Jimly sebagai sosok yang komplit, baik sebagai akademisi, politisi, maupun tokoh bangsa.
Sebagai akademisi, pengabdian keilmuan Prof. Jimly telah mencapai titik puncak sebagai Guru Besar yang tidak hanya didedikasikan melalui kegiatan mengajar di kampus. Namun juga diabadikan melalui berbagai karya tulis yang menjadi rujukan dan bahan referensi akademis, khususnya dalam bidang hukum tatanegara. Sebagai politisi, Prof. Jimly adalah satu diantara sedikit tokoh yang istiqomah dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, mengedepankan etika dan kesantuan dalam berpolitik, tanpa mengurangi ketegasan dan kelugasan dalam menyampaikan sikap politik.
“Sebagai tokoh bangsa, Prof. Jimly tidak pernah lelah mewacanakan narasi dan wawasan kebangsaan untuk menggugah kesadaran kolektif tentang berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa. Serta menggalang tanggungjawab intelektual untuk turut memberikan konstribusi pemikiran dalam usaha transformasi hukum dan sosial, menuju Indonesia yang lebih baik,” ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker Peluncuran Buku, Peresmian Jimly Book Corner, dan Penganugerahan Rekor dari LEPRID untuk Prof. Jimly, di Auditorium Komisi Yudisial, Jakarta, Senin (5/12/22).
Turut hadir antara lain, anggota DPD RI 2019-2024, Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2006 dan 2006-2008, serta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Yudisial Prof. Mukti Fajar Nur Dewata, Menteri Hukum dan HAM Prof. Yasonna Laoly, Ketua BAWASLU Rahmat Bagja, serta Ketua Generasi Lintas Budaya Olivia Zalianty.
Hadir secara virtual antara lain, Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri LHK Siti Nurbaya dan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH Nasarudin Umar.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, melalui buku “Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme”, Prof. Jimly menyajikan kumpulan tulisan yang bertautan dengan eksistensi paham ketuhanan dan keagamaan dalam konteks kehidupan bernegara, termasuk relasi antara hukum agama dengan sistem hukum nasional. Berbagai paham tersebut hadir sebagai mazhab berpikir yang sejak akhir abad ke-20 kembali mengemuka sebagai gagasan bahkan diasumsikan sebagai prinsip ideal untuk dipraktikkan di zaman modern.
“Buku karya Prof. Jimly lainnya, “Oligarki dan Totalitarianisme Baru”, menyitir dinamika kualitas kehidupan demokrasi di tanah air, yang tercermin dari pasang surut capaian indeks demokrasi. Mengisyaratkan bahwa kematangan dan kedewasaan berdemokrasi kita masih labil, belum mencapai pada titik kemapanan. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat pada proses lahirnya berbagai kebijakan publik dirasa masih minim dan belum optimal, sehingga diasumsikan sebagai produk dari praktik oligarki dan totaliatrianisme dengan wajah baru,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, dalam konteks ke-Indonesiaan, dua tema besar yang dibahas dalam dua buku tersebut terasa menggugah kembali kesadaran dan komitmen kolektf sebagai sebuah bangsa. Dalam kaitan hubungan antara agama dan negara, telah ditarik satu garis tegas, bahwa negara Indonesia bukan negara agama yang berlandaskan pada satu ajaran agama tertentu. Bukan pula negara sekuler yang menempatkan agama dan negara pada dua kutub yang berseberangan. Dalam negara Pancasila, agama dan negara berjalan beriringan dan saling menguatkan.
“Demikian juga dalam konsep oligarki dan
totalitarianisme. Kita telah bersepakat, bahwa kekuasaan negara dan pemerintahan, terutama kekuasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya material negara, tidak boleh dikendalikan atau dikuasai hanya oleh segelintir kelompok elit. Kita juga telah diikat oleh janji kebangsaan yang menentang adanya kontrol absolut pihak otoritas terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, yang dalam implementasinya cenderung mengedepankan sikap represif dan mengabaikan penegakan hukum yang berkeadilan,” pungkas Bamsoet. (*)