KEBUMEN – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan potensi terjadinya praktik korupsi dalam program dana desa menjadi persoalan yang patut diwaspadai. Besarnya potensi ini berbanding lurus dengan besarnya dana desa yang cukup signifikan. Tahun ini, dana desa dianggarkan sebesar Rp 70 triliun. Sampai dengan pertengahan Oktober 2023, sudah direalisasikan sebesar Rp 54,71 triliun, atau setara dengan 78,2 persen dari total anggaran.
“Di tengah hiruk pikuk menyongsong dua agenda besar nasional, yaitu Pemilu Serentak 2024 dan Pilkada Serentak 2024, faktor risiko penyalahgunaan dana desa juga mewujud pada penggunaan dana desa sebagai alat politik. Misalnya penyaluran dana desa sebagai media kampanye, menjadikan dana desa sebagai alat untuk memaksakan pilihan atau orientasi politik tertentu atau menyalahgunakan dana desa untuk kegiatan politik,” ujar Bamsoet dalam Workshop ‘Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel dalam Rangka Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi Desa yang Berkelanjutan’ yang diselenggarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Kebumen, Kamis (7/12/23).
Hadir sebagai pembicara antara lain Wakil Bupati Kebumen Ristawati Purwaningsih, Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan – Kemendesa dan PDTT Sugito, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Hari Wiwoho dan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah Tri Handoyo.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, potensi penyelewengan dana desa melingkupi keseluruhan siklus pengelolaan anggaran. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengadaan barang dan jasa, pertanggungjawaban, hingga monitoring dan evaluasi.
“Dari titik-titik rawan tersebut, penyalahgunaan dana desa antara lain dilakukan dalam bentuk penggelembungan dana, penggunaan dana untuk urusan pribadi, pengadaan proyek fiktif, ketidaksesuaian volume pekerjaan, pembuatan laporan yang diragukan kebenarannya, serta tindak penggelapan anggaran,” kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, merujuk pada data statistik penyalahgunaan dana desa terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Secara akumulatif, selama periode 2015 hingga 2022, KPK telah mencatat 851 kasus korupsi dana desa yang melibatkan 973 orang pelaku sebagai tersangka.
“Sangat memprihatinkan, sekitar separuh atau 50 persen dari pelaku tersebut adalah kepala desa. Pemilik legitimasi otoritas yang seharusnya diharapkan berperan sebagai pemegang amanah dan penanggungjawab pengelolaan dana desa.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi juga terus meningkat. Tahun 2019, Kepala Desa yang terjerat kasus korupsi dana desa mencapai 45 Kades. Tahun 2020, angka ini melonjak menjadi 132 Kades, dan kembali meningkat pada tahun 2021 sebanyak 159 Kades dan tahun 2022 sebanyak 174 Kades.
Salah satu faktor penyebab tingginya potensi korupsi dana desa adalah karena besarnya anggaran sekitar Rp. 1,1 hingga 1,3 miliar per desa, yang belum diimbangi dengan penguatan sistem monitoring dan evaluasi yang memadai. Selain, belum diimbangi peningkatan kapasitas SDM perangkat desa selaku pengelola dana desa.
“Di samping itu, tingkat kepatuhan perangkat desa juga masih rendah dalam mengedepankan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari KKN. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Desa pasal 26 ayat 4 huruf f,” urai Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan Ketua Umum Pengurus Besar Keluarga Olahraga Tarung Derajat ini meminta agar partisipasi masyarakat sebagai bentuk pengawasan terhadap penggunaan dana desa diperkuat. Masyarakat tidak boleh apatis dan harus kritis terhadap pengelolaan dana desa. Terlebih, di dunia kontemporer saat ini, demokrasi keterwakilan dipandang tidak lagi sepenuhnya mampu mengakomodir aspirasi masyarakat secara utuh. Demikian pula dalam pembangunan desa untuk menjamin sebuah kebijakan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, kebijakan tersebut harus bertransformasi ke arah yang lebih partisipatif.
“Dalam konteks pengelolaan anggaran, inilah yang kita maknai sebagai participatory budgeting, dimana masyarakat desa memiliki andil dalam kebijakan pengelolaan dana desa. Budaya partisipasi ini juga menjadi sarana pendidikan politik dan demokrasi yang penting bagi masyarakat desa,” pungkas Bamsoet. (*)