Pertemuan Bilateral dengan Ketua Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China
JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan, ketidakpatuhan Tiongkok terhadap hukum UNCLOS 1982 yang sempat membuat ketegangan dengan Indonesia di Laut Natuna, maupun membuat ketegangan Tiongkok dengan Malaysia, Filipina, dan juga Vietnam di masing-masing perairan mereka, tidak boleh terus dibiarkan terjadi. Hal ini bisa membuat preseden buruk di kemudian hari, sekaligus berpotensi menyebabkan eskalasi ketegangan di tengah upaya kolektif global dalam memerangi pandemi Covid-19.
“Tidak hanya di Asia Timur dan Asia Tenggara, ketegangan yang terjadi terkait sikap Tiongkok yang tidak menghormati keputusan UNCLOS 1982 juga mendapat perhatian serius dari Amerika Serikat. Karenanya, Indonesia menegaskan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan (LCS),” ujar Bamsoet dalam pertemuan bilateral dengan Ketua Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China Mr. Wang Yang, secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, di Jakarta, Senin (27/9/21).
Turut hadir Wakil Ketua Selaku Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok Mrs. Li Bin, dan Wakil Ketua Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok Mrs. Su Hui serta Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, sejak awal kemerdekaan Indonesia, para founding fathers telah menggariskan politik luar negeri Indonesia didasarkan pada doktrin Bebas Aktif. Artinya, Indonesia Bebas menjalin kemitraan dengan negara manapun, dan Aktif mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan dunia.
“Terkait permasalahan di LCS yang tidak kunjung selesai, Indonesia memiliki kepentingan untuk memastikan kebebasan navigasi dan penerbangan, sekaligus mendesak semua pihak untuk menghormati hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982),” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, setidaknya terdapat dua klaim Tiongkok di Laut China Selatan yang berimplikasi terhadap kepentingan Indonesia. Yakni, Klaim Nine Dash Line (sembilan garis imajiner yang diklaim sebagai wilayah laut Tiongkok), dan klaim bahwa fitur-fitur di LCS (Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel) berhak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.
“Pada Juli 2016, kedua klaim tersebut telah digugurkan oleh putusan arbitrase Laut China Selatan (Filipina dengan Tiongkok). Terkait klaim Nine Dash Line, mahkamah arbitrase menyatakan bahwa sekiranya hak tradisional sebagaimana diklaim Tiongkok itu ada, hak tradisional itu telah gugur seiring dengan berlakunya UNCLOS,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, pada 13 Januari 2021, dalam pertemuan bilateral antara Menlu RI-Menlu Tiongkok di Jakarta, Menlu RI menyampaikan kembali mengenai pentingnya menjaga Laut Cina Selatan sebagai laut damai dan stabil. Untuk mencapainya, hanya satu hal yang harus dilakukan oleh semua negara yaitu menghormati dan menjalankan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
“Pada rangkaian pertemuan ASEAN-Tiongkok di Chongqing, 7-8 Juni 2021 disepakati segera dimulainya kembali negosiasi teks Code of Conduct (COC). Namun demikian, Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Vietnam menyoroti situasi di Laut China Selatan yang tidak merefleksikan proses COC. Atas dasar persahabatan dan hubungan baik antara Tiongkok dengan ASEAN, saya menyambut baik ajakan Ketua Dewan Nasional Majelis Permusyarakatan Politik Rakyat China Mr. Wang Yang untuk mengedepakan dialog dalam penyelesaian Laut China Selatan dan peningkatan kerjasama bilateral kedua negara,” pungkas Bamsoet. (*)