Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023
Ketua MPR RI Bamsoet Dorong MPR Kembali Menjadi Lembaga Tertinggi Negara
JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan perubahan konstitusi pada era reformasi telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara.
Sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR RI seharusnya tetap dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.
“Idealnya memang MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas, 23 Mei 2023 yang lalu. Karena itu, setelah 25 tahun memasuki era Reformasi sejak tahun 1998, kini saatnya kita merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara,” ujar Bamsoet dalam pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023, di Gedung Nusantara MPR RI/DPR RI/DPD RI, Jakarta, Rabu (16/8/23).
Hadir antara lain Presiden RI Joko Widodo, Wapres RI Ma’ruf Amin, Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-9 Hamzah Haz, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, istri presiden keempat almarhum Abdurrahman Wahid Sinta Nuriyah, para Wakil Ketua MPR RI, para Wakil Ketua DPR RI, para Wakil Ketua DPD RI, para menteri Kabinet Indonesia Maju, pimpinan lembaga negara, ketua umum partai politik yang mewakili keterwakilan di DPR RI, duta besar negara sahabat, raja-raja nusantara, ketua ormas keagamaan serta perwakilan teladan dari seluruh nusantara.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, manifestasi dari konsepsi kedaulatan rakyat, salah satunya mewujud pada penyelenggaraan Pemilu. Pemerintah telah memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024 pada tanggal 14 Februari 2024. Semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara Luber dan Jurdil. Pelaksanaan Pemilu lima tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E konstitusi.
Sebagaimana diketahui, Pemilu terkait dengan masa jabatan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi hingga Kabupaten/Kota, serta Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan seluruh Menteri anggota kabinet, juga mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama lima tahun.
“Persoalannya, bagaimana jika menjelang Pemilu terjadi sesuatu di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi. Maka secara hukum, tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, dalam keadaan tersebut timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika Pemilu tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?
“Berbagai masalah di atas belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita sebagai warga bangsa. Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR RI masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Apakah setelah perubahan keempat.undang-undang dasar MPR RI masih memiliki kewenangan untuk melahirkan Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan?,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan subjektif superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan PERPPU manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa. TAP MPR RI merupakan solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
“Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK), serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara,” pungkas Bamsoet. (*)