JAKARTA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai sistem politik di Indonesia mempunyai kekhasan dibanding sistem politik di negara belahan dunia lainnya. Pasca Reformasi 1998, presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR RI. Indonesia beralih menggunakan sistem presidensial dimana presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, terpisah dengan kekuasaan legislatif di parlemen.
“Sistem presidensial idealnya mempunyai dua kekuatan utama yang saling berhadapan. Sebagaimana terjadi di Amerika, Partai Republik berhadapan dengan Partai Demokrat. Di Indonesia, kombinasi sistem presidensial dengan kondisi multi partai di parlemen seperti saat ini menjadi wajah baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dunia. Tak ubahnya seperti sistem hybrid dalam sebuah kendaraan,” ujar Bamsoet saat menjadi narasumber Rapat Pleno Lembaga Pengkajian MPR RI, Gedung MPR RI Jakarta, Selasa (16/10/18).
Lembaga Pengkajian MPR RI beranggotakan 60 orang yang berasal dari berbagai tokoh dan pakar ketatanegaraan. Hadir dalam Rapat Pleno tersebut antara lain Arief Budimantan (Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional/KEIN), Hajroyanto Y Thohari (Wakil Ketua MPR periode 2009 – 2014), Andi Mattalata (Mantan Menteri Hukum dan HAM), Ali Masykur Musa (Mantan Anggota BPK RI), Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara), Valina Singka Subekti (Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia).
“Untungnya di dua Pemilu tersebut, Partai Golkar selalu menjadi bandul yang menyeimbangkan kekuatan koalisi pemerintah untuk menghadapi koalisi oposisi di parlemen. Sehingga pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien. Hubungan pemerintah dan parlemen bisa terkendali,” terang Bamsoet.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menambahkan agar sistem presidensial bisa berjalan secara tepat, maka perlu penyederhanaan partai politik di tingkat parlemen. Karena itu mulai Pemilu 2009 telah diberlakukan parliamentary threshold.
Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Kebumen, dan Banjarnegara ini menjelaskan, penyederhanaan partai politik di parlemen belum tentu bisa menjamin stabilitas politik penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu harus ada ikatan ideologis yang kuat bagi koalisi partai politik, sehingga anggotanya di parlemen punya garis perjuangan yang sama.
“Di periode 2009-2014, tak jarang kita lihat anggota koalisi pemerintah justru bersuara lantang kepada pemerintah. Hal ini menyebabkan kebisingan dan kegaduhan politik di internal pemerintah sendiri. Sehingga pemerintah seperti berjalan auto pilot,” imbuh Bamsoet.
“Pembelahan ini sangat baik. Karena yang terbelah adalah kekuatan koalisi partai politiknya, bukan rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bahkan pembelahan koalisi ini bisa mengantarkan Indonesia kepada koalisi permanen, sehingga di masa depan tidak ada lagi partai politik yang loncat kesana-kemari,” pungkas Bamsoet.
SIARAN PERS