BALI – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi dukungan civitas akademika Universitas Negeri Udayana agar MPR RI kembali memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Sebelumnya, dukungan serupa juga telah datang antara lain dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta berbagai Organisasi Keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu serta Civitas Akademika Universitas Ngurah Rai, Bali.
“Agar MPR RI memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan PPHN, perlu dilakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945 yang hanya menyasar dua hal utama. Pertama, penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk menyusun dan menetapkan PPHN. Kedua, penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN. Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan materi amandemen di luar materi PPHN yang sudah teragendakan,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Universitas Negeri Udayana, Bali, Selasa (11/5/21).
Turut hadir para pejabat struktural Universitas Udayana, antara lain Rektor Universitas Udayana Prof DR Raka Sudewi, Wakil Rektor Bidang Akademik I Prof DR Nyoman Gde Antara, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Informasi Prof DR Ida Bagus Wyasa Putra, Hakim Konstitusi RI periode 2003-2008 dan 2015-2020 DR I Dewa Gede Palguna yang menjadi moderator acara diskusi sosialisasi Empat Pilar MPR RI, serta seribu limaratusan mahasiswa Universitas Udayana yang hadir secara daring.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan substansi PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 50 bahkan 100 tahun yang akan datang. Khususnya dalam menjemput HUT ke-100 kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045.
“Sehingga mampu menggambarkan posisi Indonesia dalam megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim, serta pemajuan dunia pendidikan yang semuanya akan berpengaruh pada pola pembangunan nasional,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sejajar dengan tujuan nasional lainnya. Yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan dan memilih pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1). Hak mendapat pendidikan juga diakui sebagai bagian dari hak asasi yang melekat pada fitrah kemanusiaan sebagai warga negara,” terang Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini memaparkan, sejak tahun anggaran 2015, pemerintah bersama DPR RI telah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Di APBN 2015 jumlahnya sekitar Rp 390,1 triliun, APBN 2016 sekitar Rp 370,4 triliun, APBN 2017 sekitar Rp 419,8 triliun, APBN 2018 sekitar Rp 444,1 triliun, APBN 2019 sekitar Rp 492,5 triliun, APBN 2020 sekitar Rp 508,1 triliun, serta di APBN 2021 sekitar Rp 550 triliun.
“Secara jujur harus diakui, besarnya anggaran sektor pendidikan tersebut belum berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Merujuk survei kemampuan pelajar yang dirilis Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Tertinggal dari Malaysia di urutan ke-56 atau Singapura di urutan ke-2,” papar Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, laporan UNDP (United Nation Development Programme) memperlihatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2020 berada di urutan 107 dari 189 negara. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (rangking 11), Brunei Darussalam (rangking 47), Malaysia (rangking 62), dan Thailand (rangking 79).
“Melalui PPHN, pola pembangunan pendidikan akan dilihat secara holistik. Pendidikan nasional harus melahirkan sumberdaya manusia yang tidak sekadar cerdas secara akademis. Tetapi juga mempunyai jati diri yang unggul, yang berkarakter Pancasila,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menekankan, jangan ada lagi kelalaian menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai rujukan moral dalam pendidikan nasional. Misalnya dengan tidak memperhatikan amanat undang-undang yang mewajibkan Pancasila sebagai mata kuliah/pelajaran wajib di perguruan tinggi.
“Menghadirkan Pancasila dalam diskursus akademis di lingkungan pendidikan tinggi adalah keniscayaan. Karena kampus adalah tempat generasi muda bangsa digembleng dan dipersiapkan sebagai sumberdaya pembangunan,” tutur Bamsoet.
Dewan Pakar KAHMI ini menegaskan, menempatkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi, tidak boleh berhenti pada tahap pelembagaan. Mengingat Pancasila adalah sebuah sistem nilai.
“Untuk merawat kearifan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maka Pancasila harus diterima dan dihayati, dipraktikan sebagai kebiasaan. Bahkan dijadikan sifat yang menetap atau watak setiap manusia Indonesia,” pungkas Bamsoet. (*)