Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Kampus Politeknik Banjarnegara, Ketua MPR RI Bamsoet Minta Mahasiswa Jadi Pemilih Cerdas
BANJARNEGARA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo meminta para mahasiswa menjadi pemilih cerdas dan tidak terjebak pada sikap prakmatis, berpikir sempit dan instan. Seperti NPWP atau Nomor Piro Wani Piro pada pilpres dan pileg 2024.
Selain soal politik praktis, Bamsoet juga memaparkan tentang pendidikan yang berkualitas, khususnya di perguruan tinggi. Yakni, belum mampunya Indonesia menyediakan supply sumberdaya manusia yang siap pakai. Salah satunya tercermin dari kualitas pendidikan di tanah air yang menurut data worldtop20org, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia.
“Tingkat kelulusan sekolah menengah atas (SMA) hanya mencapai 78 persen, dan tingkat kelulusan Perguruan Tinggi jauh lebih sedikit lagi, yaitu 19 persen. Di tengah persaingan global yang semakin kompetitif dan mengandalkan kualitas SDM sebagai pilar utama, tentu persoalan pendidikan menjadi isu yang urgent dan prioritas untuk kita sikapi,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi 4 Pilar MPR RI hari ke-6 dalam kunjungannya ke Dapil-7 Jawa Tengah bersama sivitas akademika Politeknik Banjarnegara, di Auditorium Politeknik Banjarnegara, Selasa (23/1/24).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam menghadapi tantangan menyiapkan sumber daya manusia yang siap pakai tersebut, kehadiran perguruan tinggi vokasi seperti Politeknik Banjarnegara sangat penting. Sebagai satu-satunya perguruan tinggi vokasi di Banjarnegara, Politeknik Banjarnegara telah berkontribusi dalam melahirkan sumberdaya manusia siap kerja yang kompeten dan profesional, khususnya di bidang kebidanan, kesehatan lingkungan, dan agroindustri.
“Pendidikan vokasi dan profesi menawarkan berbagai program pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Keberhasilan pendidikan vokasi dan profesi jangan hanya diukur dari perspektif penyedia layanan pendidikan, seperti banyaknya lulusan penerima ijazah, banyaknya penerima sertifikat, tingginya nilai ujian, atau sejenisnya. Keberhasilan pendidikan vokasi dan profesi harus diukur berdasarkan perspektif penerima kerja. Misalnya serapan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, peningkatan penghasilan, kepuasan stakeholder, dan sejenisnya,” jelas Bamsoet.
Dosen Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur, UT, Universitas Pertahanan (UNHAN) dan Universitas Perwira Purbalingga ini menerangkan, pendidikan yang berorientasi terhadap kebutuhan dapat diwujudkan dengan mengembangkan mekanisme koordinasi sistemik antara penyedia pendidikan, para pemegang kebijakan perekonomian, lembaga sertifikasi profesi terkait, dan para penerima kerja sebagai pengguna.
“Jika perubahan orientasi ini dapat dilakukan, maka kita tidak akan mendengar lagi anomali bahwa pendidikan vokasi dan profesi malah cenderung menghasilkan pengangguran dibanding mengatasi pengangguran. Karenanya, program link and match antara pendidikan dengan dunia industri perlu terus dikembangkan. Target untuk mencetak satu juta lulusan pendidikan vokasi harus mendapat dukungan dari dunia perguruan tinggi,” pungkas Bamsoet. (*)