JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan perlunya Indonesia memiliki program flying doctor sebagai bagian penunjang sistem kesehatan masyarakat. Seperti halnya di Australia yang memiliki Royal Flying Doctor Service, dan Afrika Selatan dengan The Flying Doctors’ Society of Africa (FDSA). Maupun Malaysia dengan Flying Doctors of Malaysia, yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, menggunakan transportasi pesawat udara yang disediakan Angkatan Udara Kerajaan Malaysia.
“Melalui flying doctor, Malaysia bisa memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk yang jauh dari perkotaan, yang tidak bisa diakses melalui transportasi darat, air, ataupun pesawat komersial. Mengingat kondisi daerah di Indonesia juga tidak jauh beda, banyak pedesaan terpencil yang sulit diakses transportasi komersial, membuat masyarakat setempat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. Flying doctor bisa menjadi solusinya,” ujar Bamsoet usai menerima Federasi Pilot Indonesia, di Jakarta, Sabtu (6/2/21).
Turut hadir antara lain Presiden Federasi Pilot Indonesia, Captain Ali Nahdi dan Sekretaris Jenderal Federasi Pilot Indonesia, Captain Setiaji.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, melalui flying doctor, tim medis kedokteran bisa mengunjungi warga di berbagai pelosok daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) menggunakan helikopter atau pesawat berbadan kecil. Mereka bisa melakukan kunjungan medis secara periodik, mingguan hingga bulanan, bahkan melakukan evakuasi medis darurat kepada warga di wilayah DTPK. Termasuk juga mengirimkan obat-obatan ke klinik kesehatan yang berada disana.
“Sebagai tahap awal, Kementerian Kesehatan bisa bekerjasama dengan Kementerian Sosial, dan TNI Angkatan Udara, didukung Federasi Pilot Indonesia, dalam mengawal program flying doctor. Program ini akan memberikan efek luar biasa, terutama dalam menekan tingkat kematian warga akibat penyakit ataupun karena gagal mengakses pelayanan kesehatan,” jelas Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menerangkan, program flying doctor bisa menjadi salah satu pengejawantahan pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang mengamanatkan negara untuk bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Sekaligus menjalankan amanat Pasal 23 UU Nomor 36 Tahun 2014 yang mengatur penempatan tenaga kesehatan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara penugasan khusus.
“Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun masyarakat yang tinggal di wilayah DTPK masih kesulitan mengakses kesehatan. Seperti tergambar dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) 2018 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada tahun 2019, memotret 10 kota dengan IPKM terendah berada di wilayah Papua. Antara lain Arfak, Deiyai, Yalimo, Mamberamo Raya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga, Tolikara, Dogiyai, dan Paniai,” pungkas Bamsoet. (*)