JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo diangkat menjadi Dewan Kehormatan oleh organisasi profesi Federasi Pilot Indonesia. Sekaligus menandatangani MoU antara MPR RI dengan Federasi Pilot Indonesia, untuk saling bekerjasama bertukar informasi tentang berbagai hal seputar penerbangan, khususnya dari aspek keselamatan penerbangan.
“Melalui Federasi Pilot Indonesia, kita juga menekankan perlunya Indonesia memiliki program Flying Doctor sebagai bagian penunjang sistem kesehatan masyarakat. Seperti halnya di Australia yang memiliki Royal Flying Doctor Service, Afrika Selatan dengan The Flying Doctors’ Society of Africa (FDSA), maupun Malaysia dengan Flying Doctors of Malaysia yang berada di bawah Kementerian Kesehatan, menggunakan transportasi pesawat udara yang disediakan Angkatan Udara Kerajaan Malaysia,” ujar Bamsoet usai menerima Federasi Pilot Indonesia, di Jakarta, Senin (7/6/21).
Pengurus Federasi Pilot Indonesia yang hadir antara lain Presiden Capt. Ali Nahdi, Sekretaris Jenderal Capt Setiyadi Dwiwandoko, Penasihat Umum Capt Dewo Daryanto. Turut hadir Ketua Asosiasi Pilot Helikopter Capt Yunus.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, Malaysia memperkenalkan Flying Doctor Service (FDS) menggunakan helikopter sejak tahun 1973 di Serawak dan tahun 1978 di Sabah. Melayani 131 desa di Sarawak dan lebih dari 60 desa di Sabah. Tim medis FDS yang terdiri dari seorang dokter, asisten dokter dan perawat, melakukan kunjungan rutin setiap bulannya.
“Federasi Pilot Indonesia bisa bekerjasama dengan pelaku usaha swasta, khususnya yang bergerak di bidang oil and gas yang melakukan aktivitas pengeboran sumur minyak di berbagai daerah pedalaman Indonesia, untuk bergotong royong membuat Flying Doctor Indonesia. Sebagaimana yang juga telah dilakukan Malaysia, yang mewajibkan perusahaan minyak yang melakukan explorasi dan exploitasi di lepas pantai untuk menyediakan Flying Doctor,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, melalui Flying Doctor, tim medis kedokteran bisa mengunjungi warga di berbagai pelosok daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) menggunakan helikopter atau pesawat berbadan kecil yang dipiloti anggota Federasi Pilot Indonesia. Kunjungan medis bisa dilakukan secara periodik, mingguan hingga bulanan, bahkan melakukan evakuasi medis darurat kepada warga di wilayah DTPK. Termasuk juga mengirimkan obat-obatan ke klinik kesehatan yang berada disana.
“Program Flying Doctor menjadi salah satu pengejawantahan Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang mengamanatkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Sekaligus menjalankan amanat Pasal 23 UU Nomor 36 Tahun 2014 yang mengatur penempatan tenaga kesehatan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara penugasan khusus,” terang Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menambahkan, dalam pertemuan tersebut Federasi Pilot Indonesia juga menyampaikan kegelisahannya terkait kondisi finansial Garuda Indonesia yang tercatat memiliki utang mencapai USD 4,9 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulannya karena Garuda terus menunda pembayaran kepada para lessor.
“Sebagaimana disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir di berbagai kesempatan, Lessor atau pihak yang menyewakan pesawat kepada Garuda Indonesia menjadi salah satu penyebab krisis keuangan yang kini dihadapi Garuda. Total pesawat yang disewa Garuda mencapai sekitar 155 pesawat dari sekitar 36 lessor, di antaranya jenis Boeing-777, Boeing-737, CRJ-1000 serta ATR-72,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menuturkan, sebagai dampak krisis finansial tersebut, manajemen Garuda Indonesia telah menawarkan opsi pensiun dini kepada para pilot dan pegawainya. Federasi Pilot Indonesia menekankan agar opsi pensiun dini tersebut harus win-win solution. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan, terutama para pekerja yang memiliki keluarga untuk dinafkahi.
“Selain mengedepankan opsi pensiun dini, Federasi Pilot Indonesia juga mendorong agar manajemen memikirkan berbagai opsi lainnya. Seperti pemberdayaan aset, hingga melakukan peninjauan terhadap semua kebijakan dan regulasi yang terkait dengan domestic route, golden route, dan golden time/best time, yang seharusnya dikuasai oleh negara melalui Garuda,” pungkas Bamsoet. (*)