Terima Pengurus FKPPI, Ketua MPR Bamsoet Terima Aspirasi Penyempurnaan UUD NRI 1945
JAKARTA – Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo menerima masukan dari Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo mengenai perlunya MPR RI melakukan penyempurnaan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Salah satu penyempurnaannya yakni sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan tertinggi mengubah dan menetapkan konstitusi sebagai hukum dasar, MPR juga perlu diperkuat untuk merumuskan dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Kebijakan Dasar.
“Bagi FKPPI, penyempurnaan konstitusi bisa menjadi jalan tengah dari berbagai usulan perubahan konstitusi yang ada saat ini. Khususnya menjadi jalan tengah bagi yang ingin kembali ke UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 maupun yang ingin kembali ke UUD sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959,” ujar Bamsoet usai menerima Pengurus FKPPI, di Jakarta, Selasa (24/9/24).
Hadir pengurus FKPPI antara lain, Ketua Umum Pontjo Sutowo, Sekretaris Jenderal Anna R Legawati, Wakil Ketua Umum Indra Bambang Utoyo, Wakil Ketua Dewan Pakar Yudi Latif, dan Sekretaris Dewan Pakar Ahmad Zacky Siradj.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, FKPPI mengusulkan penyempurnaan konstitusi juga mengarah kepada penataan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak lepas dari fenomena banyaknya putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap kontroversial dan tidak bisa dilakukan koreksi karena bersifat final and binding.
FKPPI mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya pada ranah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tanpa perlu membuat norma baru. Karena kekuasaan legislatif hanya berada di tangan DPR dan presiden. Sebagai jalan tengah untuk mengoreksi putusan MK, FKPPI mengusulkan agar MPR kedepannya bisa memveto putusan MK, dengan berbagai syarat misalnya veto bisa dilakukan melalui Sidang Paripurna dengan keputusan diambil oleh 2/3 atau 50 plus 1 anggota yang hadir.
“Setiap usul anak bangsa bagi penataan penyelenggaraan pemerintahan patut didengar, ditelaah, dan ditindaklanjuti. Karenanya dalam ranah akademik maupun pembangunan kebangsaan, usulan FKPPI ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh. Sehingga check and balances bukan hanya terlaksana di ranah legislatif dan eksekutif saja melainkan juga di ranah yudikatif,” jelas Bamsoet.
Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Pertahanan RI, Universitas Terbuka, Universitas Jayabaya, dan Pendiri Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA) ini menerangkan, dalam penyempurnaan konstitusi, FKPPI juga mengusulkan penambahan ketentuan dalam Pasal 33 ayat agar jangan hanya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Melainkan juga memasukan tambahan ruang udara dan angkasa yang keseluruhannya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Keberadaan ruang udara dan angkasa berhubungan erat dengan hajat manusia di bumi, salah satunya terkait pemanfaatan GSO (geo stationary orbit) yang merupakan sumber daya alam terbatas. Keberadaan GSO hanya ada di atas khatulistiwa dan Indonesia salah satu negara yang dilalui garis khatulistiwa. Karena itu, konstitusi kita harus turut memuat ketentuan tentang ruang udara dan angkasa untuk dipergunakan sebesarnya kemakmuran rakyat,” terang Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, FKPPI juga mengusulkan agar keanggotaan MPR diperkuat dengan menghadirkan kembali Utusan Golongan. Keberadaan Utusan Golongan yang mewakili golongan tertentu juga terdapat di berbagai parlemen negara maju. Seperti di Inggris melalui House of Lords yang diisi para bangsawan dan kalangan agamawan. Maupun di Parlemen India, Rajya Sabha, yang diisi orang-orang yang memiliki keahlian atau pengalaman khusus dalam berbagai bidang seperti seni, sastra, sains, dan pelayanan sosial.
Esensi dari demokrasi bukan hanya tentang keterpilihan melainkan juga tentang keterwakilan. Tidak semua yang dipilih melalui Pemilu bisa mewakili aspirasi rakyat. Untuk itu perlu dilengkapi dengan Utusan Golongan, yang bisa mewakili kelompok masyarakat tertentu seperti Golongan Seniman, Golongan Budayawan, Golongan Adat, Golongan Agamawan, hingga Golongan Profesi seperti guru, wartawan, dan dokter.
“Keberadaan Utusan Golongan bisa memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat dapat memberikan perspektif dan masukan yang berharga dalam proses legislatif maupun dalam proses kehidupan kebangsaan dalam arti yang lebih luas,” pungkas Bamsoet. (*)