JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Pascasarjana (S3) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Trisakti dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN) Bambang Soesatyo bersama Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Surya Jaya, Prof Faisal Santiago, Prof Arifin dan Dr Ahmad Redi menjadi penguji Studi Hasil Penelitian (SHP) disertasi Ahmad Sahroni (Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Borobudur; Wakil Ketua Komisi III DPR RI, sekaligus Bendahara Umum Partai Nasdem). Bamsoet sebagai penguji Internal, sedangkan Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Surya Jaya sebagai Promotor.
Disertasi mengangkat tema tentang Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remidium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Menyoroti bahwa keberadaan UU Tipikor, KUHAP, maupun KUHP belum memadai dalam mencegah sekaligus memberantas korupsi. Karenanya perlu didukung penerapan prinsip ultimum remidium berupa pengembalian kerugian negara.
“Penelitian ini dapat mengubah mindset penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dari pendekatan retributif (menghukum dengan ekspektasi menimbulkan deterent effect) ke pendekatan restoratif (pemulihan kerugian negara) dengan mengupayakan penyelesaian secara menyeluruh berdasarkan prinsip ultimum remedium dengan mengedepankan teori negara kesejahteraan, teori hukum dekonstruksi, dan teori hukum progresif,” ujar Bamsoet usai menguji Seminar Hasil Riset disertasi Ahmad Sahroni, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (16/3/24).
Turut hadir antara lain, Ko-Promotor Disertasi yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, dan penguji internal Dr. Ahmad Redi.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, penerapan prinsip ultimum remedium pada pemberantasan korupsi dapat diartikan memberikan kesempatan penyidik untuk menerapkan prosedur hukum administrasi atau hukum perdata terlebih dahulu. Apabila kedua jalur tersebut dianggap tidak mampu mencapai tujuannya, maka hukum pidana dijadikan sebagai jalan terakhir.
“Karena itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya pemahaman penyidik mengenai peraturan perundang-undangan administrasi terhadap tindak pidana yang diatur dalam berbagai UU sektoral. Misalnya, sesuai pasal 20 UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, jika ada temuan BPK yang mengindikasikan adanya kerugian negara karena masalah administrasi, maka diberikan waktu selama 60 hari kepada pihak tersebut untuk mengklarifikasi sekaligus mengembalikan kerugian negara, sehingga tidak serta merta langsung proses pidana,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, pada tahun 2022 saja, setidaknya terdapat 1.218 perkara korupsi baik yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, dengan total 1.298 terdakwa.
“Penerapan ultimum remedium bisa menjadi jalan keluar dalam pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Dari berbagai kajian, pada periode 2011-2015 saja, kerugian akibat korupsi mencapai Rp 203,9 triliun. KPK melaporkan, setidaknya sudah 429 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, serta anggota DPR dan DPRD sebanyak 344 tersangka,” pungkas Bamsoet. (*)