Bamsoet: Tidak Ada Ruang Bagi Intoleransi dan Pemecah Persatuan Bangsa
JAKARTA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memandang Bangsa Indonesia tak pernah tidur, senantiasa siap menerima perubahan demi kemajuan. Bangsa Indonesia juga senantiasa lapang menerima perkembangan hubungan antar negara dalam terminologi globalisasi. Bahkan, hampir setiap pemerintahan seringkali mengangkat isu globalisasi sebagai agenda pembangunan.
“Dari sisi positifnya, globalisasi adalah jalan mempercepat pembangunan dalam skema transfer pengetahuan. Namun di sisi lain, globalisasi kadang memberi perasaan khawatir karena ekses negatifnya yang sulit dibendung. Seperti kesertaan ideologi-ideologi transnasional yang destruktif terhadap keberadaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,” ujar Bamsoet saat menjadi keynote speaker dalam acara Seminar Nasional Kebangsaan ‘Kebudayaan Indonesia dalam Dimensi Kekinian dan Perspektif Masa Depan’, di Jakarta, Rabu (03/07/19).
Hadir dalam seminar ini antara lain Mendikbud Muhajir, Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto serta Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf.
Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen ini menilai, perkembangan globalisasi yang mengabaikan batas kewilayahan melalui hadirnya teknologi komunikasi membuat gerakan-gerakan ideologis yang destruktif itu menjadi semakin efektif. Isu radikalisme dan ancaman terorisme transnasional menjadi permasalahan serius yang terus menghantui keberlangsungan penyelenggaraan negara.
“Seringkali ideologi transnasional dianggap sebagai persoalan natural. Padahal jika dipahami, usaha infiltrasi ideologi terhadap ideologi lain di suatu negara berdaulat merupakan kendali dari aktor-aktor yang hanya melakukannya demi kepentingan sekelompok golongan. Doktrinisasi yang berujung pada sikap antipati terhadap proses demokrasi adalah tujuan jahat dari agenda pelemahan sendi-sendi kekuatan negara,” tutur Bamsoet.
Melihat kondisi ini, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menyampaikan bahwa sudah jelas bagi kita tidak ada pilihan lain selain memperkuat benteng demokrasi Pancasila. Implementasi demokrasi Pancasila mampu mereduksi potensi-potensi pemecah persatuan yang diakibatkan oleh ideologi-idelogi transnasional yang membahayakan keutuhan NKRI.
“Selain itu, benteng pendidikan harus diperkuat agar sistem pendidikan nasional dari tingkat terbawah hingga tingkat perguruan tinggi tidak disusupi oleh paham atau idelogi transnasional yang bertujuan merusak keutuhan NKRI. Salah satu cara yang sering mereka gunakan adalah dengan melemahkan keyakinan kita pada ideologi Pancasila sebagai dasar negara,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, proses rekrutmen terhadap pegawai negeri sipil juga harus diperkuat. Jangan sampai aparatur sipil negara disusupi oleh calon pegawai yang memiliki ideologi anti Pancasila atau yang beranggapan bahwa keberagaman di NKRI adalah sesuatu hal yang salah dan tidak boleh ada di negeri ini.
“Kita sudah memiliki beberapa perangkat dalam menangkal ideologi transnasional yang membahayakan NKRI. Dalam penguatan budaya nasional, kita memiliki instrumen hukum berupa Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Budaya. Di sektor keamanan, undang-undang penanggulangan terorisme memberikan landasan strategi taktis bagi aparat mengatasi aksi-aksi teror,” papar Bamsoet.
Bendahara Umum DPP Partai Golkar periode 2014-2016 ini juga menekankan, dalam konteks invansi paham-paham transnasional, Indonesia hanya memerlukan sinergitas antara seluruh elemen masyarakat. Sehingga memiliki perasaan yang sama dalam menghayati Pancasila, dari tingkatan masyarakat hingga elit politik.
“Kita harus menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi intoleransi. Tidak ada ruang bagi pemecah persatuan di tanah air. Mari gunakan strategi-strategi yang elegan untuk menularkan kebenaran sejati dari Pancasila. Sehingga globalisasi dan interaksi dengan masyarakat internasional tidak dinodai upaya-upaya destruktif yang merusak perdamaian,” pungkas Bamsoet. (*)