FGD MPR RI: Pemerintah Butuh Perencanaan Pembangunan Nasional

18
Oct

FGD MPR RI: Pemerintah Butuh Perencanaan Pembangunan Nasional

JAKARTA – Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadiawati menekankan pemerintah sangat membutuhkan perencanaan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Menurutnya, rencana MPR RI melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), proses penyusunan dan penetapannya harus dilakukan secara inklusif, merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

“Sesuai prinsip universal dari pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni ‘leave no one behind’ (tidak ada yang ditinggalkan). Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada peraturan, kebijakan, dan praktik sosial yang mengabaikan atau bahkan mengeksklusi kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pemerintah Indonesia secara serius berkomitmen terhadap pelaksanaan SDGs dengan disahkannya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,” ujar Diani Sadiawati dalam Focus Group Discussion (FGD) MPR RI ‘MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif’ di Press Room MPR RI, Jakarta, Senin (18/10/21).

Turut hadir sebagai narasumber antara lain, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Moch. Nurhasim, dan Moderator Diskusi Manuel Kaisiepo. 

Diani menjelaskan, karena penyusun PPHN adalah MPR yang merupakan lembaga perwakilan, sisi inklusivitas PPHN tercermin dari sejauh mana MPR menjadi penjelmaan seluruh rakyat. Dalam konteks Indonesia, perwakilan politik sepenuhnya diselenggarakan oleh partai politik, sedangkan perwakilan teritorial menjadi porsi dari Dewan Perwakilan Daerah. Sejak saat amandemen keempat konstitusi, sudah tidak ada lagi Utusan Golongan yang merupakan bentuk representasi fungsional.

“Utusan Golongan pada dasarnya menjadi solusi dalam hal ada celah tidak terwakilinya fungsi-fungsi penting dalam masyarakat, seperti kelompok keahlian tertentu, kalangan profesional, asosiasi pelaku usaha, petani, pekerja, dan seterusnya. Di dalam kondisi sekarang, jika PPHN dihidupkan, penyusunannya secara eksklusif akan dipegang oleh kalangan partai politik (DPR) dan wakil daerah (DPD). Inklusivitas proses penyusunan PPHN menjadi sangat penting karena berkaitan dengan berbagai komitmen SDGs yang pondasinya adalah prinsip ‘leave no one behind’,” jelas Diani.

Diani menambahkan, PPHN seyogyanya menjadi karya kolektif bangsa Indonesia, di mana seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali, dapat menyampaikan aspirasinya. Sehingga kegiatan turunannya, yaitu Perencanaan Pembangunan Nasional pun menjadi inklusif.

“Keberadaan Utusan Golongan terdapat dalam sistem perwakilan di sejumlah negara, dengan format kelembagaan yang berbeda-beda. Di Hong Kong misalnya, kursi functional constituencies (FCs) bahkan pernah mengisi setengah dari keseluruhan kursi Legislative Council. FCs pernah memiliki peran yang sangat signifikan bagi kepentingan berbagai sektor dan komunitas dan pada akhirnya berperan penting pada pembangunan Hong Kong. Sementara di Perancis, kelembagaan representasi fungsional tidak berada di lingkungan parlemen, tetapi secara konstitusional diakui,” tandas Diani.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, sebelum amandemen keempat, keanggotaan MPR RI terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Setelah amandemen keempat, keanggotaan MPR RI hanya terdiri dari anggota DPR RI sebagai representasi partai politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi kepentingan daerah. Sedangkan Utusan Golongan dihapuskan. Kini banyak pihak, seperti yang pernah disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia serta berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya, melihat bahwa unsur Utusan Golongan sangat penting untuk dihidupkan kembali dalam keanggotaan MPR RI.

“Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya,” ungkap Bamsoet.

Ketua DPR RI Ke-20 ini menerangkan, banyak pihak berpendapat, kehadiran Utusan Golongan akan menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural. Kehadiran Utusan Golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir. Termasuk golongan yang karena aturan undang-undang, hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan.

“Sebagaimana pernah disampaikan pakar kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan, bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat. Perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Dalam kaitannya dengan akar sosial tersebut, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya,” pungkas Bamsoet. (*)

Leave a Reply