Bamsoet: PPHN Bintang Penunjuk Arah Pembangunan Nasional
JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan hakikat pembangunan adalah proses kolektif menuju kemajuan yang membutuhkan haluan agar seluruh pemangku kepentingan mempunyai perspektif yang sama. Kesamaan pandangan ini penting, mengingat Indonesia dengan 270,2 juta penduduknya, memiliki tingkat heterogenitas yang luar biasa dari berbagai sudut pandang, baik latar belakang budaya, sosial, ekonomi, maupun pandangan politik.
“Indonesia tidak ubahnya seperti bahtera besar yang sedang berlayar di tengah samudera luas. Agar berhasil mencapai tujuan, diperlukan haluan sebagai peta jalan (road map), karena tidak mungkin nasib penumpang bahtera dipercayakan begitu saja, semata-mata pada intuisi seorang nahkoda. Atas dasar itulah MPR RI sedang menyelesaikan penyusunan draf Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang kelak dijadikan bintang penunjuk arah pembangunan nasional,” ujar Bamsoet dalam Webinar ‘Urgensi Haluan Negara terhadap Proses Pembangunan Bangsa dan Negara dalam Jangka Panjang’, di Jakarta, Jumat (16/7/21).
Turut hadir para narasumber lainnya, antara lain Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsar, Pakar Hukum Tata negara Universitas Pattimura Jemmy Pietersz, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Bina Nusantara Dr. Besar. Hadir pula jajaran pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI), antara lain Ketua Umum Fahmi Namakule, Sekjen Fajar Budiman, dan Bendahara Umum Dirar Refra.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dukungan agar MPR RI memiliki kewenangan menetapkan PPHN datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Serta Organisasi Kemasyarakatan mulai dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu, hingga perguruan tinggi di berbagai daerah, seperti di Bali, Riau dan Aceh.
Dukungan tersebut tidak lepas mengingat pasca amandemen keempat konstitusi, MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN. Fungsi GBHN digantikan dengan UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025. Sementara Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disusun berlandaskan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden terpilih.
“Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut ternyata menyisakan beragam persoalan. Selain kecenderungan bersifat eksekutif sentris, juga memungkinkan RPJPN dilaksanakan tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Serta tidak sinerginya perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah. Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah juga berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, agar MPR RI memiliki kewenangan menetapkan PPHN, terlebih dahulu harus dilakukan amandemen terbatas terhadap konstitusi. Khususnya berkaitan dengan dua pasal dalam konstitusi. Antara lain penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
“Idealnya, substansi PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia untuk 50 bahkan 100 tahun yang akan datang. Mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial yang sangat dipengaruhi revolusi industri 4.0 dan era society 5.0. Mampu memberikan arahan untuk menjawab tantangan Pembangunan Berkelanjutan. Serta mampu menggambarkan megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi global, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia,” papar Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara ini menambahkan, amandemen terbatas tersebut tidak akan membuka kotak pandora. Misalnya menambah batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Maupun mengembalikan pemilihan presiden-wakil presiden kepada MPR RI. Karena Pasal 37 Konstitusi telah mengatur secara rigid dan tegas mengenai mekanisme usul perubahan Konstitusi, yang tidak dapat dilakukan secara serta merta.
“Amandemen harus terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR. Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amandemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan,” pungkas Bamsoet. (*)