Bertemu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua MPR RI Bamsoet Singgung Penguatan MPR Melalui Revisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menyinggung Penguatan MPR Melalui Revisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di DPR RI. Usulan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut untuk menghapuskan penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b.
Saat ini ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan Ketetapan (TAP) MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah UUD dan di atas undang-undang. Akan tetapi, ketentuan tersebut dibatasi pada bagian Penjelasan, dengan menyatakan bahwa Ketetapan MPR yang dimaksud adalah Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
“Tentu ini menjadi persoalan, karena tidak seharusnya ketentuan dalam penjelasan membatasi norma yang diatur dalam pasal. Partai Bulan Bintang dengan Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra pernah mengajukan judicial review terhadap ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun sidang MK menolak uji materi tersebut,” ujar Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di Jakarta, Sabtu (8/6/24).
Hadir antara lain Wakil Ketua Umum MPR RI Ahmad Basarah, Fadel Muhammad dan Jazilul Fawaid.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini memaparkan, penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 membatasi MPR tidak bisa lagi membuat TAP MPR yang bersifat mengatur (regelling). Saat ini MPR hanya bisa mengeluarkan TAP MPR yang bersifat penetapan (beschikking).
“Apabila penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dihapus, maka MPR kembali bisa membuat TAP MPR yang bersifat regelling. TAP MPR yang bersifat regelling dapat menjadi solusi manakala negara dihadapkan pada berbagai kebuntuan, baik kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, maupun kebuntuan hukum,” kata Bamsoet.
Dosen Tetap Hukum Tata Negara (HTN) pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN) serta Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) ini menambahkan, perjalanan sejarah bangsa membuktikan bahwa TAP MPR yang bersifat regelling mampu menjadi penyelamat bangsa Indonesia ketika mengalami krisis konstitusional. Diantaranya, MPRS pernah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme usai peristiwa pemberontakan G30S/PKI pada 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada 3 Maret 1966.
Pengembalian kewenangan subjektif superlatif MPR melalui TAP MPR menjadi penting, mengingat UUD 1945 pascareformasi seperti tanpa pintu darurat jika terjadi dispute atau kebuntuan yang berkepanjangan. Indonesia penting memiliki pintu darurat dalam UUD 1945 dan protokol kedaruratan menjadi solusi manakala negara-bangsa dihadapkan pada berbagai kebuntuan, seperti kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, dan bahkan kebuntuan hukum.
“Banyak yang meremehkan soal kedaruratan ini. Sebagai bangsa, seyognyanya kita ‘sedia payung sebelum hujan’. Bagaimana jika sekiranya terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat yakni menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan menteri pertahanan beserta jajaran yang lain lumpuh, atau berhalangan tetap secara serentak? Dengan demikian, situasi keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada. Timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?”tanya Bamsoet.
Idealnya UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau ‘constitutional deadlock’. Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan keadaan bahaya tersebut.
“Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subyektif superlatif. Dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat regeling guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar,” tandas Bamsoet.