Catatan Ketua MPR RI: Fokus pada Food Estate Untuk Merawat Ketahanan Pangan
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (PHISIP) Universitas Terbuka
FOOD estate atau lumbung pangan yang inovatif hendaknya menjadi fokus negara-bangsa, sebagai respons dan antisipasi atas perubahan pola musim yang eksesnya begitu nyata pada sektor pertanian tanaman pangan, akhir-akhir ini. Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN) akan mewajibkan pemerintah pusat dan daerah segera merealisasikan food estate melalui program yang terencana dan berkelanjutan, sistematis dan inovatif.
Sudah menjadi fakta bahwa perubahan pola musim — sebagai buah dari perubahan iklim– mengganggu dan merusak mekanisme pola tanam yang sudah menjadi kebiasaan selama ini. Tanpa harus diajari lagi, komunitas petani sudah tahu dengan sendirinya kapan waktu menanam, dan kapan bersiap-siap untuk panen. Bahkan, karena akrab dengan dinamika alam dan cuaca, kalkulasi para bapak dan ibu tani kadang lebih akurat.
Namun, perubahan iklim menghadirkan persoalan baru bagi komunitas petani. Pola musim yang berubah-ubah nyata-nyata sudah menghadirkan dampak pada berbagai aspek kehidupan dan dirasakan semua orang. Intensitas bencana hidrometeorologis cenderung meningkat. Akhir-akhir ini misalnya, di berbagai wilayah, sering terjadi angin kencang, angin puting beliung, banjir hingga curah hujan yang tinggi.
Periode kemarau tahun ini pun disebut kemarau basah karena cuaca panas tak jarang diselingi hujan lokal, sebagaimana terjadi sepanjang September-Oktober 2022 sekarang ini. Fenomena itu menandai terjadinya perubahan pola curah hujan. Pola curah hujan yang berubah-ubah menyebabkan cadangan ketersediaan air menjadi tak menentu.
Sudah barang tentu perubahan itu menghadirkan masalah serius pada sektor pertanian tanaman pangan. Wujud nyata permasalahannya sudah terlihat pada rangkaian kasus gagal panen sejumlah komoditas tanaman pangan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Memahami fenomena ini, menjadi layak untuk mengedepankan perkiraan-perkiraan tentang ketahanan pangan negara-bangsa di masa depan. Dan, untuk alasan itu pula, PPHN memberi perhatian khusus pada aspek ketahanan pangan negara-bangsa di masa depan. Semua elemen bangsa diajak untuk peduli pada masalah ini, tidak terkecuali generasi milenial dan generasi Z.
Dalam konteks ini, salah satu faktor yang perlu digarisbawahi adalah pemahaman bahwa merawat produktivitas sektor tanaman pangan tidak sama lagi dengan dekade-dekade sebelumnya. Untuk mewujudkan target itu, diperlukan sinergi dan integrasi beberapa disiplin ilmu dan teknologi. Sejumlah aspek menjadi berbeda karena faktor perubahan pola musim dan perubahan pola curah hujan.
Dengan begitu, perencanaan dan rancangan semua program yang berkait dengan aspek ketahanan pangan harus berpijak pada fakta tentang perubahan pola musim dan curah hujan. Fakta seperti ini mengisyaratkan bahwa kerja merawat produktivitas tanaman pangan adalah kegiatan lintas sektor. Melibatkan kementerian pertanian dan Kementerian pekerjaan umum yang merawat sistem pengairan dan pencegahan banjir di areal tanaman pangan. Peran BMKG pun signifikan sebagai sumber informasi tentang dinamika iklim, cuaca dan curah hujan.
Jika kegiatan merawat ketahanan pangan menuntut mekanisme kerja lintas sektoral, gagasan tentang food estate menjadi relevan. Inisiatif food estate sebagai antisipasi terhadap gangguan ketahanan pangan negara-bangsa telah dimunculkan dalam dokumen RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024. Program Food estate bahkan sudah ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional (PSN).
Untuk periode 2021-2023, sudah ditetapkan pembagian tugas lintas sektor. Kementerian Pertanian berperan menyediakan sarana produksi dan pengawalan budidaya. Kementerian PUPR berperan merehabilitasi dan meningkatkan jaringan irigasi; Kemendesa PDTT bertugas merevitalisasi lahan transmigrasi eksisting; Kementerian LHK melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan gambut,dan Kementerian BUMN bertugas mewujudkan korporasi, merancang disain dan Tata Ruang (RDRT), validasi tanah hingga sertifikasi.
Program food estate telah dikembangkan di sejumlah daerah, meliputi Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Banjarnegara di Jawa Tengah juga sedang menyiapkan program food estate. Komoditi prioritas yang dikembangakan dalam program food estate meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sorgum, buah-buahan, sayur-sayuran, sagu, kelapa sawit, tebu, dan ternak sapi atau ayam.
Upaya mewujudkan food estate yang sudah dimulai di sejumlah daerah layak diapresiasi. Namun, karena tantangan pada dekade-dekade mendatang diasumsikan lebih berat akibat perubahan pola musim, Indonesia harus lebih bersungguh-sungguh, dan bekerja lebih keras mewujudkan food estate. Dengan jumlah penduduk yang saat ini lebih dari 275 juta jiwa, ketahanan dan kecukupan bahan pangan harus menjadi prioritas.
Karena itulah PPHN mendorong kesungguhan pemerintah untuk merealisasikan food estate di dalam negeri, dan mengajak semua elemen masyarakat memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Alasannya jelas. Pengalaman buruk tahun-tahun terakhir ini hendaknya menjadi faktor yang patut direnungkan, dipelajari dan memotivasi. Pada Maret 2022, Sekretaris Jenderal PBB harus membentuk Champions of the Global Crisis Response Group on Food, Energy and Finance (GCRG). Forum ini dibentuk karena dunia sedang berselimut tiga krisis sekaligus, yakni krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan.
Maka, dengan kesungguhan merealisasikan food estate, Indonesia tidak hanya sedang berupaya merespons potensi krisis bahan pangan. Bahkan Indonesia boleh berambisi mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan. Karena itu, food estate di dalam negeri idealnya direalisasikan dengan program yang terencana, berkelanjutan, sistematis dan inovatif.
Jangan lupa, hingga kini, ketergantungan Indonesia pada bahan pangan impor menjadi fakta tak terbantahkan. Beberapa bulan lalu, ketika terjadi gangguan pada rantai pasok kedelai, masyarakat tidak nyaman karena karena harga tahu-tempe menjadi lebih mahal.
Memang, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, beberapa komoditas kebutuhan pokok masih diimpor. Antara lain minyak Goreng Nabati, Mentega, kentang, Kedelai, Kakao, Jagung, Gula, Gandum dan Meslin hingga Cengkeh. Bersyukur bahwa dalam tiga tahun terakhir, Indonesia tidak perlu impor beras, karena kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi produksi dalam negeri.
Namun, semangat mengurangi ketergantungan pada bahan pangan impor harus digelorakan. Harus ada kemauan untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang) sektor tanaman pangan. Dari kegiatan Litbang itu, misalnya, diharapkan dapat menemukan faktor-faktor penghambat pengembangan budi daya tanaman kedelai, dan merekomendasikan jalan keluar untuk mewujudkan kemandirian pengadaan kedelai. Maka, food estate hendaknya didukung dengan instrumen Litbang tanaman pangan. Tujuannya semata-mata mewujudkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan pada bahan pangan impor.