Pembelajaran Bagi Generasi Milenial

Ketua DPR RI Tidak Perlu Ada People Power
7
Jun

Pembelajaran Bagi Generasi Milenial

SEMUA dugaan tentang rencana atau gerakan inskonstitusional yang terjadi sebelum dan sesudah tanggal 22 Mei 2019 menjadi contoh buruk yang harus didengar dan dilihat generasi milenial Indonesia. Tidak sedikit yang kecewa melihat adanya kekuatan yang berupaya menarik mundur proses pendewasaan demokrasi, serta merusak regenerasi kepemimpinan nasional.

Agar generasi milenial bisa belajar dan tidak mengulang contoh buruk itu, detail semua dugaan atau rencana gerakan inkonstitusional, termasuk skenario pembunuhan hingga fakta-fakta tindakan anarkis di sejumlah tempat, harus diungkap.

Sangat beralasan, dan juga menjadi kewajiban moral bagi para elit dan tokoh senior, untuk mendorong generasi milenial mencatat dan menggarisbawahi rangkaian peristiwa sesudah dan sebelum 22 Mei 2019 itu. Tak hanya sekadar dijadikan catatan, tetapi mendorong generasi milenial untuk belajar dari peristiwa itu. Sebab, rangkaian peristiwa itu nyaris menjerumuskan negara dan bangsa ini ke dalam situasi kacau balau, bahkan mungkin juga terjadi pergolakan akibat benturan antarkelompok masyarakat. Jika saja TNI dan Polri tidak menggelar tindakan preventif, skala risiko yang harus diterima negara dan masyarakat akan jauh lebih besar dari sekadar apa yang terlihat pasca rusuh 22 Mei 2019 itu.

Kendati tindakan preventif telah diupayakan, toh korban jiwa berjatuhan juga. Semua berkabung. Sejumlah korban luka, termasuk polisi, masih menjalani perawatan. Beberapa pihak harus menanggung rugi karena terjadinya pembakaran kendaraan dan penjarahan barang dagangan. Belum lagi kerusakan pada sejumlah bangunan. beberapa hari berturut-turut, sebagian masyarakat harus menghentikan kegiatan atau tidak pergi ke kantor karena sejumlah ruas jalan ditutup sebagai bagian dari upaya preventif itu. Bahkan, karena trauma dengan kata rusuh, tidak sedikit warga yang meninggalkan Jakarta menuju kota lain untuk menghindari berbagai kemungkinan terburuk. Ungkapan people power itu benar-benar meneror banyak warga Jakarta, terutama karena adanya pengerahan massa dari luar ibukota.

Sungguh, potret yang demikian itu sangat kontradiktif dengan profil dan popularitas Indonesia yang demokratis. Terlepas dari siapa pun pelaku pembunuhan, pengrusakan dan penjarahan, catatan mengenai korban jiwa itu menjadi aib bagi adab demokrasi bangsa ini. Bagaimana tidak, di negara ini, setiap orang boleh mengecam dan mengritik presiden hingga Panglima TNI dan Kapolri sekalipun. Tetapi, mengapa dari sebuah aksi damai berskala kecil itu, sejumlah orang harus meregang nyawa di jalan? Pasti ada tangan kotor yang bekerja untuk menciptakan martir guna menyulut skala rusuh yang lebih besar. Sekali lagi, apresiasi patut diberikan kepada TNI dan Polri yang dengan kesabaran penuh berhasil mengendalikan keadaan.

Karena itu, menjadi sangat penting untuk digarisbawahi oleh generasi milenial. Semua ekses peristiwa 22 Mei 2019 itu merupakan akibat dari ulah segelintir orang tua atau sekelompok politisi sepuh. Mengeksploitasi kadar ketokohannya, mereka memperjuangkan aspirasi dan ego kelompok dengan mengangakangi etika hidup bermasyarakat dan mengangkangi etika berpolitik. Juga menista Undang-undang (UU) dan ketentuan hukum yang mengatur segala sesuatu tentang pemilihan umum (Pemilu). Tak berhenti sampai di situ, orang-orang itu kemudian membuat klaim sepihak tentang kemenangan. Mereka menyemburkan tuduhan kecurangan kepada kelompok lain dan beberapa institusi negara tanpa disertai bukti-bukti yang sah menurut ketentuan hukum.

Berpijak pada klaim sepihak dan tuduhan-tuduhan tak berdasar itu, mereka mengekspresikan kemarahan dengan menyuarakan ancaman. Dari gagasan people power sampai ajakan revolusi. Kedua ajakan itu tak bersambut. Hanya ada aksi pada 22 Mei 2019 itu. Sayang, Aksi itu kehilangan syarat aksi damai, karena ada pengerahan kelompok perusuh. Suasana tegang berlangsung selama belasan jam di Jakarta, kendati suasana rusuh hanya terjadi kawasan Sarinah, Tanah Abang dan Petamburan.

Kekhawatiran akan kemungkinan aksi damai itu ditunggangi kemudian terbukti, yakni kerusuhan dan aksi-aksi anarkis oleh para perusuh. Disela-sela kerusuhan itulah terungkap adanya dugaan agenda tersembunyi. Adanya senjata selundupan, tertangkapnya sejumlah orang yang akan melakukan penembakan hingga target membunuh empat pejabat negara dan seorang pimpinan lembaga survei.

Regenerasi Kepemimpinan

Tentu, akan timbul pertanyaan di benak sebagian generasi milenial; harus seperti itukah cara menyelesaikan sengketa Pemilu di negeri yang demokratis, dan yang mengedepankan hukum sebagai panglima kebenaran?? Jawabannya tegas: tidak! Sesuai ketentuan UU, sengketa Pemilu dibawa dan diselesaikan di forum Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan tekanan dari massa yang dikerahkan turun ke jalan. Dengan begitu, pesan kepada generasi milenial menjadi sangat jelas; bahwa di kemudian hari, contoh buruk pada hari 21-22 Mei 2019 dan rangkaian peristiwa konyol yang mendahuluinya, jangan pernah dicontoh. Segala sesuatunya akan indah jika selalu berpijak pada etika hidup bermasyarakat, berpijak pada adab demokrasi dan kesediaan menjalani etika berpolitik.

Tidaklah mengada-ada untuk mengatakan bahwa banyak orang kecewa dan marah kepada mereka yang mengeskalasi tensi politik dengan ajakan people power atau revolusi itu. Apalagi karena dorongan gerakan itu justru disuarakan dengan lantang oleh mereka yang sepuh, yang dari mereka sebenarnya diharapkan memberi banyak pelajaran tentang etika berpolitik kepada generasi milenial. Sangat memprihatinkan karena mereka justru memainkan peran signifikan dalam upaya merusak akal sehat, menyesatkan pemahaman publik atas sejumlah masalah hingga melakukan penghinaan terhadap institusi negara.

Perilaku tak terpuji itu memuncak ketika membangun sentimen keagamaan dalam pengerahan massa untuk kemudian memaksakan kehendak kepada negara. Perilaku seperti inilah yang patut digarisbawahi generasi milenial agar di kemudian hari tidak dicontoh atau di-copy paste untuk kepentingan apa pun. Lagi pula, perilaku seperti itu tidak demokratis. Kalau negara tunduk pada pemaksaan kehendak itu, justru negara yang melanggar UU dan ketentuan hukum. Tidak ada negara yang mau kalah oleh pemaksaan kehendak dari mereka yang melanggar hukum dan UU.

Sepanjang dekade ini dan seterusnya, orang-orang muda Indonesia perlu menyadari lagi bahwa warga bangsa ini sedang melakoni proses regenerasi kepemimpinan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai kehendak zaman, para sepuh dan senior pada akhirnya harus memasuki periode istirahat atau sabbatical, dan menyerahkan kepemimpinan pengelolaan hidup berbangsa dan bernegara kepada mereka yang sekarang diidentifikasi sebagai generasi milenial. Memang, tidak berarti para sepuh dilarang tampil memimpin. Peluang selalu terbuka. Di Malaysia, Mahathir Muhamad yang sepuh tampil lagi memimpin. Di Amerika Serikat, sosok sepuh yang juga mantan wakil presiden, Joe Biden, berniat maju bersaing dalam pemilihan presiden tahun 2020 mendatang.

Namun, dalam proses regenerasi yang normal, kompetisi akan didominasi orang-orang muda sesuai tuntutan keadaan karena mereka lebih komunikatif dengan zamannya. Di Indonesia, regenerasi kepemimpinan sejatinya sudah berjalan. Selain tampilnya Joko Widodo sebagai presiden, kepemimpinan wilayah di sejumlah daerah juga sudah dipercayakan kepada orang muda berusia 40 tahunan. Regenerasi tak bisa dihentikan, karena itu generasi milenial harus pro aktif menanggapi panggilan dan tuntutan zaman.

Dasar-dasar kehidupan demokratis mulai dibangun sejak 1998, dan terus mengalami proses pendewasaan hingga sekarang. Atas nama kemerdekaan dan kebebasan individu yang bertanggungjawab, proses pendewasaan itu tak boleh dihentikan, apalagi ditarik mundur. Pemimpin publik, pada level terendah sekali pun, hendaknya terpilih melalui proses yang demokratis seturut UU. Jangan pernah bereksperimen mendiskualifikasi pemimpin atau calon pemimpin dengan pengerahan massa, aksi-aksi anarkis, apalagi merencanakan pembunuhan lawan politik. (*)

Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI/Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Leave a Reply